Etika Lingkungan Hidup: Sudut Pandang Alkitab (Kristen) Part 3

Etika Lingkungan Hidup: Sudut Pandang Alkitab (Kristen) Part 3
PANDANGAN KRISTEN MENGENAI LINGKUNGAN.
Dari semua sistem sistem agama dan filsafat yang besar, tidak ada yang memberikan martabat yang lebih besar untuk penciptaan material dibandingkan tradisi Yudeo-Kristen. kedua perjanjian di dalam Kitab Suci mendukung pendapat bahwa alam semesta secara fisik ini baik dan bahwa semesta ini merefleksikan kemuliaan penciptanya (Mazmur 19:1; 1 Timotius 4:4). Ada beberapa unsur dari pandangan Kristen mengenai lingkungan dan tanggung jawab manusia di dalamnya.
URAIAN MENGENAI DASAR KRISTEN DAN EKOLOGI.
Seperti yang lainnya, ekologi Kristen berasal dari teologi Kristen. pandangan kita mengenai dunia berasal dari pandangan dunia kita. Karena kekristenan Alkitabiah mempunyai satu pandangan dunia yang teistik, pandangan ini akan berbeda dari materialism dan panteisme. Panteisme mengklaim bahwa Allah adalah semua. Materialism percaya tidak ada Allah sama sekali. Tetapi orang orang Kristen percaya bahwa Allah menciptakan semuanya. Karena itu, pandangan Kristen mengenai lingkungan timbul dari doktrin tentang penciptaan. Hal itu memiliki beberapa unsur yang penting.
DUNIA ADALAH CIPTAAN ALLAH. Pandangan materialis tradisional berpendapat bahwa dunia adalah satu proses generasi yang tidak habis habisnya. Pandangan panties yakin dunia ini adalah sesuatu yang kekal yang berasal dari suatu sumber. Tetapi pandangan teis berpegang pada ciptaan dunia yang sementara. Semesta memiliki satu permulaan. “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” (Kejadian 1:1). Pandangan ateis berpikir bahwa dunia ini timbul dari ex material (dari zat). Pandangan panties yakin dunia muncul dari ex deo (dari Allah). Dengan membandingkannya, orang orang Kristen berpengang pada penciptaan ex nihilo (dari tidak ada).
Doktrin penciptaan memiliki beberapa implikasi yang penting untuk ekologi. Sementara dunia ini tidak dari Allah, seperti yang dikatakan pandangan panties, demikian pula dunia ini bukan milik kita, seperti yang dimaksudkan pandangan materialis. Dari sinilah muncul 2 aspek penting mengenai ekologi Kristen: Kepemilikan Allah dan kepelayanan  manusia. Seperti yang ditulis oleh penulis himne, “Dunia ini milik Bapaku”, Allah memilikinya dan manusia diharuskan untuk memeliharanya.
DUNIA INI ADALAH MILIK ALLAH. “Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya” (Mazmur 24:1). Allah menjadikan bumi, dan Dia memilikinya. Allah adalah pemilik taman, dan manusia adalah penjaganya. Tuhan berkata kepada Ayub, “Apa yang ada di seluruh kolong langit adalah kepunyaanKu” (Ayub 41:2). Allah yang empunya seluruh tanah, pohon, binatang, dan tambang. Allah menyatakan, “Sebab punyaKulah segala binatang hutan dan segala isinya” (Mazmur 50:10, 12). Allah yang empunya lingkungan, manusia hanya menempatinya. Karena itu, kepemilikan Allah merupakan dasar dari kepelayanan kita.
BUMI ADALAH SATU REFLEKSI DARI ALLAH. Berbeda dengan pikiran Yunani, Perjanjian Lama menegaskan kebaikan yang mendasar dari penciptaan materi. Dunia fisik ini bukanlah suatu kejahatan untuk ditolak. Dunia fisik adalah suatu kebaikan untuk dinikmati. Dunia materi bukan satu manifestasi dari kejahatan tetapi satu refleksi dari kemuliaan Allah. Hampir di setiap hati setelah penciptaan, dikatakan bahwa “Allah melihat bahwa hal itu baik” (Lihat Kejadian 1:4, 10, 12, 18, 21, 25). Pada hari terakhir, “Allah melihat segala yang dijadikanNya itu sungguh amat baik” (1:31). Manusia dikatakan sebagai ciptaan materi yang paling baik karena dia diciptakan di dalam “gambar Allah”.
Dunia natural secara mendasar tidak hanya disebut baik, tetapi juga dikatakan merefleksikan kemuliaan Allah. Pemazmur menulis, “Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberikan pekerjaan tanganNya” (Mazmur 19:2). Kembali, “Jika aku melihat langitmu, buatan jariMu, bulan dan bintang bintang yang Kautempatkan, apakah manusia sehingga Engkau mengingatnya?” (Mazmur 8:4-5). Menurut Perjanjian Lama, ciptaan merefleksikan kemuliaan penciptanya. Alam merupakan refleksi dari Allah. Allah dimana mana nyata, Dia ada di dalam terang dan kegelapan, di daratan dan di lautan, di ketinggian dan di kedalaman (Mazmur 139:7-12). Mata yang melihat dapat melihat bukti bukti tentang Allah dimana mana. Menurut Perjanjian Baru, “Sebab apa yang tidak nampak dari padaNya, yaitu kekuatanNya yang kekal dan keilahianNya, dapat nampak kepada pikiran dari karyaNya sejak dunia diciptakan” (Roma 1:20).
BUMI DITOPANG DAN DISELENGGARAKAN OLEH ALLAH. Menurut Alkitab, Allah tidak hanya permulaan penyebab bumi, tetapi Dia juga penopang bumi ini. Sebenarnya, Kristus “menopang segala yang ada dengan FirmanNya yang penuh kekuasaan” (Ibrani 1:3). Karena oleh Dia “segala sesuatu ada” (Kolose 1:17). Allah bukan hanya menjadikan segala sesuatu ada, tetapi Dia penyebab semuanya tetap berlangsung. Singkatnya, Allah bersikap aktif tidak hanya pada awal mula semesta, tetapi juga di dalam menyelenggarakannya. Pemazmur menulis,
“Engkau yang melepas mata mata air ke dalam lembah lembah, mengalir di antara gunung gunung, memberi minum segala binatang di padang…Engkau yang menumbuhkan rumput bagi hewan dan tumbuh tumbuhan yang diusahakan manusia, yang mengeluarkan makanan dari dalam tanah” (Mazmur 104:10-14).
Alkitab tidak mendukung pandangan deistic atau pandangan yang tidak dipengaruhi oleh perasaan manusia mengenai alam. Tangan Allah terlihat di dalam badai, Guntur dan hujan (Mazmur 77:17-18). Dia menyebabkan angin dan kegelapan (Amos 4:13). Allah bersikap aktif di dalam dan melalui seluruh ciptaan. “Sebab di dalam Dia, kita hidup, kita bergerak, kita ada” (Kisah Para Rasul 17:28). Karena Allah adalah penegak dan penyelenggara dunia natural yang perlu untuk menopang kehidupan, campur tangan ekologi dengan penyelenggaraNya merupakan anggapan makhluk dengan implikasi implikasi yang serius.
DUNIA INI DI BAWAH KOVENAN DENGAN ALLAH.  Pada waktu Nuh keluar dari bahtera setelah Allah menghancurkan bumi dengan air, Allah membuat satu perjanjian dengan “segala makhluk yang hidup” (Kejadian 9:16). Perjanjian itu tidak hanya dibuat dengan tangan manusia saja, tetapi dengan binatang binatang dan dengan “setiap makhluk yang hidup” (ayat 12). Allah berfirman, “Inilah tanda perjanjian yang Kuadakan antara Aku dan kamu serta segala makhluk yang hidup, yang bersama sama dengan kamu turun menurun, untuk selama lamanya” (ayat 12). Ketika pelangi muncul di awan, “Aku akan mengingat perjanjianKu yang telah ada antara Aku dan kamu serta segala makhluk yang hidup, segala yang bersenyawa, sehingga segenap air tidak lagi menjadi air bah untuk memusnahkan segala yang hidup” (ayat 15). Allah, pemilik dari segala yang hidup, telah membuat satu perjanjian dengan mereka untuk tidak lagi menghancurkan mereka dengan air bah.
Di dalam konteks inilah kita dapat berbicara tentang memperlakukan binatang dengan respek. Pertama tama, karena setiap makhluk ada di bawah perjanjian dengan Allah, kita mempunyai satu kewajiban untuk memelihara setiap macam yang Allah ciptakan. Setiap macamnya merupakan satu ciptaan yang khusus dan mempunyai tempatnya yang khusus di dalam rencana Allah secara keseluruhan. Dia memberi makan “burung burung di udara” (Matius 6:26). Meskipun Allah memberikan binatang untuk dimakan di dalam perjanjian ini (Kejadian 9:3). Namun, manusia tidak mempunyai hak untuk menyiksa binatang, sebenarnya, Kitab Amsal berkata, “Orang benar memperhatikan hidup hewannya, tetapi belas kasihan orang fasik itu kejam” (Amsal 12:10). Allah bahkan memperhatikan setiap burung pipit yang jatuh ke bumi (Matius 10:29). Jadi kita tidak hanya harus memelihara setiap makhluk hidup yang telah diciptakan Allah tetapi kita juga harus memberi makan mereka dan melindungi mereka.
UMAT MANUSIA ADALAH PENJAGA LINGKUNGAN. Allah adalah pencipta dan pemilik bumi, tetapi manusia adalah pemeliharanya. Pada waktu Allah menciptakan manusia dalam gambarNya, Dia memerintahkan mereka, “Beranakcuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi dan taklukkan itu, berkuasalah atas ikan ikan di laut dan burung burung di udara dan segala binatang yang merayap di bumi” (Kejadian 1:28). Juga, “Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu” (Kejadian 2:15). Dari ayat ayat ini kita dapat mengamati paling sedikit 3 kewajiban dasar terhadap lingkungan kita: berkembang biak dan memenuhi bumi, menaklukkan bumi dan berkuasa atasnya, dan mengusahakan serta memelihara bumi. Marilah kita mempertimbangkan satu persatu.
Kewajiban untuk berkambang biak – seluruh makhluk hidup berkembang biak “menurut macamnya” (Kejadian 1:22). Manusia mempunyai satu tugas untuk melakukannya. Allah berfirman kepada Adam dan Hawa, “Beranakcuculah dan bertambah banyak (rabah); penuhilah (mala) bumi” (Kejadian 1:28). Jadi kewajiban kita yang pertama adalah mengembangbiakkan spesies manusia. Manusia bertugas untuk memenuhi bumi. Sungguh, Alkitab mengatakan Adam “memperanakkan seorang laki laki menurut rupa dan gambarnya” (Kejadian 5:3).
Bagaimanapun juga 2 hal harus dicatat mengenai perintah untuk berkembang biak. Pertama, ini adalah perintah kepada ras bukan pada setiap individu. Baik Yesus (Matius 19:11-12) dan Paulus (1 Korintus 7:8) menguduskan hidup membujang bagi beberapa orang. Kedua, ini adalah perintah untuk memenuhi, bukan untuk terlalu memenuhi bumi. Perintah itu hanyalah untuk berpopulasi, bukan untuk membuat populasi yang berlebihan di bumi. Sementara ada perdebatan mengenai bilama bumi ini kelebihan penduduk saat ini, tidak ada keraguan bahwa ras terancam oleh kepunahan. Singkatnya, umat manusia telah melakukan satu tugas yang terpuji di dalam memenuhi perintah ini. Karena tanaman dan binatang dikatakan harus berproduksi kembali, dan karena mereka itu perlu untuk keberadaan manusia, ada satu kewajiban yang tersirat yaitu tidak membiarkan satu macamnya, membanjiri yang lain. Satu keseimbangan dibutuhkan antara tanaman, binatang dan umat manusia.
TUGAS UNTUK BERKUASA. Umat manusia diberikan kuasa atas ciptaan lainnya. Dua kata digunakan untuk menjelaskan hal ini: “Takhluk” dan “berkuasa”. Takhluk (Kabash) berarti menginjak nginjak atau membawa ke dalam suatu perbudakan. Kata ini menyampaikan gambaran tentang seorang penakluk yang menaruh kakinya di atas leher orang yang ditakhlukkan. Kata ini mengandung makna beberapa bentuk dari mengontrol atau berkuasa atas alam. Kata berkuasa (radah) berarti menginjak nginjak atau menang atas. Gambaran yang disampaikan adalah mengenai seseorang yang dominan atau yang menang. Kedua kata tersebut tidak menyisakan keraguan bahwa manusia bukan saja di dalam alam, tetapi ditempatkan untuk menguasainya. Mereka bukan hanya bagian dari alam, tetapi juga terlepas dari alam. Manusia bukan saja seorang petani di dalam ciptaan, dia adalah raja yang menguasainya.
Perintah untuk menjadi pemelihara – di samping untuk berkembang biak dan berkuasa, manusia mempunyai kewajiban untuk memelihara. Mereka harus bekerja di dalam dunia dan memeliharanya. Kata bekerja dan mengerjakan tanah (abad) berarti melayani. Kadang kata ini bahkan menjadi arti menjadi budak dari. Kata lainnya, “memelihara” (shamar), berarti menjaga, mengawasi dan memelihara. Kedua kata tersebut menjelaskan satu tindakan yang diambil atas nama ciptaan, bukan atas nama manusia begitu saja. Manusia terikat tugas untuk melayani dan memelihara bumi.
Terhadap ketidaktahuan secara Alkitabiah, nampaklah bahwa tugas tugas manusia itu bertentangan. Bagaimana dia dapat menjadi raja yang menguasai sekaligus menjadi pelayan dari ciptaan? Jawabannya ditunjukkan di dalam Kepala dari Ciptaan yang Baru, yaitu Yesus Kristus. Dia adalah pelayanan di dunia ini, tetapi berkuasa atasnya. Dia memerintah melalui melayani (Markus 10:45; Filipi 2:5-8). Bahkan para pemimpin di dalam Gereja diperintahkan untuk “memerintah” kawanan domba Allah (Ibrani 13:7). Namun, mereka harus “melayani sebagai gembala” (1 Petrus 5:2). Mereka memerintah dan mengambil otoritas bukan sebagai Tuhan yang menguasai, tetapi sebagai gembala yang rendah hati. Seperti yang dikemukakan Petrus, “Janganlah kamu berbuat seolah olah kamu mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu” (ayat 3). Dalam hal ini tidak ada pertentangan antara berkuasa dan melayani, antar memiliki otoritas atas dan tanggung jawab di dalam ciptaan Allah. Kewajiban kita sebagai raja atas ciptaan adalah untuk melayani subjek subjek kita dengan baik.
PEMERIKSAAN BEBERAPA PROSEDUR KRISTEN MENGENAI EKOLOGI.
Kitab Suci tidak hanya memberikan prinsip prinsip umum mengenai tanggung jawab kita terhadap lingkungan, tetapi juga meletakkan beberapa prosedur praktis di dalam memelihara lingkungan. Meskipin orang orang Kristen tidak terikat oleh hukum hukum dalam Perjanjian Lama yang digenapi di dalam Kristus (Roma 6-7; Galatia 3; Ibrani 7-10), namun Perjanjian Lama ditulis untuk instruksi dan teladan bagi kita (Roma 15:4; 1 Korintus 10:11); 2 Timotius 3:17). Oleh karena itu, adalah tepat untuk mengumpulkan sedikit demi sedikit instruksi Allah kepada Israel yaitu hal hal yang bermanfaat bagi kita. Beberapa perintah tersebut relevan dengan tugas kita terhadap lingkungan.
HUKUM TENTANG KEPENGURUSAN YANG BAIK. Ekologi adalah kepengurusan yang baik. Allah telah mempercayakan bumi dan sumber sumber alamnya untuk kita pelihara, dan kita harus bertindak dengan penuh tanggung jawab terhadap sumber sumber tersebut. kitab Suci mengatakan bahwa “yang akhirnya dituntut dari pelayanan pelayanan yang demikian adalah bahwa mereka ternyata dapat dipercayai” (1 Korintus 4:2). Bahkan merupakan kepengurusan yang baik bila kita menghabiskan dengan sia sia sumber sumber alam kita yang bernilai. Bumi adalah taman Allah dan kita adalah penjaganya. Dia berfirman kepada Ayub, “Apa yang ada di seluruh kolong langit, adalah kepunyaanKu” (Ayub 41:2). Kita tidak boleh mengubah taman Allah menjadi padang gurun, demikian pula lautanNya menjadi cesspools.
HUKUM TENTANG PERHENTIAN DI HARI SABAT. Hati sabat setiap minggunya bukan hanya perhentian untuk manusia tetapi juga untuk binatang. Allah berfirman, “Enam harilah lamanya engkau melakukan pekerjaanmu, tetapi pada hari ketujuh haruslah engkau berhenti, supaya lembu dan keledaimu tidak bekerja…melepas lelah” (Keluaran 23:12). Perhentian yang tetap setiap minggu merupakan pengawetan yang baik, baik untuk menusia maupun untuk hewan. Perhentian mendatangkan produktivitasnya bagi kehidupan dan tanah.
HUKUM TENTANG PERHENTIAN BAGI TANAH. Hukum dalam Perjanjian Lama yang secara langsung ditujukan pada pemeliharaan ekologi adalah hukum tentang istirahat di hari sabat bagi tanah. Bukan hanya manusia yang harus memberian satu hari di dalam tujuh hari untuk beristirahat, tetapi mereka juga tidak boleh membajak tanah mereka sehingga tanah tersebut dapat muda kembali. Musa menyatakan, “Pada tahun ketujuh haruslah engkau membiarkannya dan meninggalkannya begitu saja”. Istirahat bagi tanah mempunyai arti bahwa “supaya orang miskin di antara bangsamu dapat makan dan apa yang ditinggalkan mereka haruslah dibiarkan dimakan binatang hutan” (Keluaran 23:10-11). Mereka harus melakukan hal yang sama untuk “kebun anggur dan kebun zaitun”, mereka (ayat 11). Ukuran ukuran ini memastikan bahwa tanah tersebut tidak terlalu sering dipakai dan aka nada banyak lagi, bai untuk menusia maupun hewan.
HUKUM TENTANG TAHUN YOBEL. Allah menyatakan bahwa punyaKulah dunia dan segala isinya (Mzmur 50:12). Untuk memastikan hal ini. Dia memerintah bahwa “tanah jangan dijual mutlak, karena Akulah pemilik tanah itu, sedang kamu adalah orang asing dan pendatang bagiKu” (Imamat 25:23). Jadi Allah menetapkan hukum tentang tahun Yobel dimana melaluinya setiap 50 tahun sekali tanah akan kembali pada pemiliknya semula (ayat 28). Hal ini mencegah konsentrasi kepemilikan dan eksploitasi tanah.
HUKUM TENTANG MENUAI. Anak anak Israel diperintahkan, “Pada waktu kamu menuai hasil tanahmu, janganlah kausabit ladangmu habis habis sampai ke tepinya, dan janganlah kau pungut apa yang ketinggalan dari penuaianmu” (Imamat 19:9). Demikian juga, Allah berfirman, “Juga sisa sisa buah anggurmu janganlah kaupetik untuk kedua kalinya dan buah yang berjatuhan di kebun anggurmu janganlah kaupungut, tetapi semuanya itu harus kautinggalkan bagi orang miskin dan orang asing” (ayat 10). Ini bukan hanya cara untuk menyediakan bagi orang orang miskin tetapi juga binatang binatang hutan (Keluaran 23:11). Lebih jauh lagi, cara ini juga menjadi suatu tanda jika ada kecenderungan yang rakus untuk merampok tanah dari seluruh sumber sumber alamnya. Kecenderungan ini merupakan pokok permasalahan dari krisis ekologi.

HUKUM TENTANG SANITASI. Polusi lingkungan sebagian besar merupakan masalah metode pembuangan yang buruk. Banyak bagian dalam Kitab Imamat ditujukan pada masalah ini. Di dalamnya terdapat hukum hukum untuk membersihkan makanan, tangan, dan perkakas perkakas (Imamat 13-14). Ada tempat tempat karantina bagi mereka yang mengidap penyakit menular (13:9-11). Pakaian yang telah ditulari harus dibakar (13:52). Bahkan rumah rumah yang telah ditulari harus dihancurkan (14:43-45). Kotoran manusia harus ditimbun dalam tanah. Hukum Taurat berkata, “Di antara perlengkapanmu haruslah ada padamu sekop kecil dan apabila engkau jongkok kada hajat, haruslah engkau menggali lobang dengan itu dan menimbuni kotoranmu” (Ulangan 23:13). Adalah menarik untuk dicatat bahwa seluruh metode sanitasi ini dianggap bagian dari kekudusan karena bagian dalam Kitab Imamat dari mana sebagian besar ayat ayat itu berasal dimulai dengan kata kata, “Akulah Tuhan yang telah menuntun kamu keluar dari tanah mesir, supaya menjadi Allahmu, jadilah kudus, sebab Aku ini kudus” (Imamat 11:45).
HUKUM TENTANG PEPERANGAN. Bahkan di dalam keadaan darurat perang, anak anak Israel diperintahkan untuk berhati hati agar tidak mengganggu lingkungan yang telah dipelihara baik. Allah memerintahkan mereka, “Apabila dalam memerangi suatu kota…untuk direbut, maka tidak boleh engkau merusakkan pohon pohon sekelilingnya dengan menguyunkan kapak kepadanya, buahnya boleh kaumakan”. Dia menambahkan, “hanya pohon pohon yang engkau tahu tidak menghasilkan makanan, boleh kaurusakkan dan kautebang untuk mendirikan pagar pengepungan terhadap kota yang berperang melawan engkau, sampai kota itu jatuh” (Ulangan 20:19-20). Bahkan ketika perang di kota itu perlu, lingkungan tidak boleh dikorbankan. Kita tidak dapat menaklukkan satu Negara dengan menghancurkan lingkungannya.
HUKUM YANG MENENTANG SIFAT RAKUS UNTUK MEMILIKI TANAH. Allah yang empunya tanah, bukan manusia. Dia berfirman, “Sebab punyaKulah dunia dan segala isinya” (Mazmur 50:12). Allah menyatakan kepada Ayub, “Apa yang ada di seluruh kolong langit, adalah kepunyaanKu” (Ayub 4:12). Pemazmur berseru, “Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya” (Mazmur 24:1). Jadi Yesaya mengutuk sifat rakus yang menyerobot tanah dengan menyatakan, “Celakalah mereka yang menyerobot rumah demi rumah dan mencekau ladang demi ladang, sehingga tidak ada lagi tempat bagi orang lain dan hanya kamu sendiri yang tinggal di dalam negeri!” (Yesaya 5:8). Mengapa? “kebun anggur yang luasnya sepuluh hari membajak akan menghasilkan hanya satu bat anggur (kira kira 27,30 liter), dan satu nomer benih (kira kira enam bushel) akan menghasilkan satu efa gandum (setengah bushel)” (ayat 10). Sifat rakus ingin memiliki tanah menghancurkan produktivitas tanah.

SATI EVALUASI DARI PANDANGAN KRISTEN MENGENAI EKOLOGI.
Beberapa keberatan ditujukan pada pandangan Kristen mengenai lingkungan. Sebagian besar dari keberatan itu dipersingkat menjadi satu tesis besar: Konsep Kristen mengenai penaklukkan dan penguasaan atas bumi meningkatkan eksploitasi dan polusi besar besaran dari lingkungan.
Satu pertanyaan mengenai tuduhan terhadap keKristenan. Karya mengenai topic ini yang paling berpengaruh adalah karya Lynn White Jr, dalam risalah singkatnya, “The Historical Roots of Our Ecological Crisis (akar akar sejarah dari krisis ekologi kita)”. White menyatakan bahwa “keKristenan adalah agama paling antroposentris yang bahkan telah dilihat dunia..KeKristenan, dibandingkan mutlak dengan paganism kuno dan agama agama Asia…bersikeras bahwa adalah kehendak Allah agar manusia memanfaatkan alam untuk tujuan tujuannya yang tepat”. Eksploitasi ini, dikatakan berasal dari perintah di dalam Kejadian 1:28, yaitu untuk “menaklukkan” bumi dan “berkuasa” atas bumi, sungguh, ilmu pengetahuan modern menemukan akar akarnya di bagian Alkitab ini. Ketika Francis Bacon menulis Novum Organumnya yang terkenal (1620), pada permulaan ilmu pengetahuan modern, dia memperingatkan, “Hanya biarkan umat manusia memperoleh hak atas alam itu yang menjadi miliknya melalui warisan ilahi, dan biarkan kekuasaan diberikan padanya”.
SATU TANGGAPAN KRISTEN TERHADAP KRITIK INI. Adalah benar bahwa keKristenan ibu dari ilmu pengetahuan modern dan bahwa teknologi modern muncul dari situ. Bagaimanaoun juga, adalah tidak adil karena beberapa alasan menyalahkan dunia Kristen berkaitan dengan krisis ekologi kita.
Meskipun konsep penciptaan Yudeo Kristen merupakan akar dari ilmu pengetahuan modern, adalah salah untuk mengklaim bahwa hal ini meningkatkan eksploitasi ciptaan. Bahkan pernyataan dari Bacon yang terkendal di salah mengerti oleh para kritikus, karena di dalam kalimat berikutnya, setelah melihat bahwa hak hak manusia atas alam itu berasal dari Tuhan, dengan hati hati Bacon menambahkan, “Dari pelaksanaannya akan ditentukan oleh alasan yang logis dan agama yang benar”. Dengan demikian dia melihat dengan jelas perlunya pimpinan ilahi dan pengendalian moral atas penguasaan manusia terhadap alam.
Bukanlah pandangan dunia Kristen yang mendorong penyalangunaan alam, tetapi pandangan materialistic. Orang orang yang melihat sumber sumber alam sebagai sesuatu yang tidak terbatas dan manusia sebagai otoritas pokok di dalam menggunakan sumber sumber alam tersebut adalah orang orang yang mengeksploitasi. Seperti diperlihatkan sebelumnya, beberapa orang humanis bahkan berbicara tentang “pemerkosaan” alam. Sebaliknya, keKristenan percaya bahwa Allah adalah pemilik alam dan kita adalah pelayanan pelayananNya. “Kekuasaan” kita adalah satu kepercayaan untuk mengurus sumber sumber alam ini. Kita menguasai alam tetapi juga ada di dalam dunia dan dipanggil untuk melindungi dan memelihara alam. Perintah Alkitabiah untuk mengontrol alam bukan berarti untuk merusak ala. Kekuasaan kita atas alam tidak memberi hak untuk mengotorinya. Sebaliknya, orang Kristen mempunyai tanggung jawab untuk memelihara dan menjaga alam.
Sementara keKristenan tidak bertanggung jawab terhadap krisis ekologi yang terjadi saat ini, harus diakui bahwa sampai pada tingkatan yang penting umat Kristen bertanggung jawab. Tetapi, seperti yang diperlihatkan seseorang, umat Kristen dapat didefinisikan sebagai satu kelompok yang terdiri dari orang orang Kristen yang dungu. Orang orang Kristen tidak selalu hidup sesuai dengan prinsip prinsip Kristen. sampai pada tingkatan bahwa orang orang Kristen, seperti orang lain, terperangkap di dalam semangat zaman mereka, mereka juga bersikap materialistic. Sekali lagi di sini, kita perlu kembali pada kebenaran Kitab Suci untuk tanggung jawab kita yang sebenarnya terhadap lingkungan. Dalam hal ini, kita dapat mengucapkan terima kasih untuk amarah yang membantu yang diberikan kepada kita oleh orang orang dari zaman baru yang fanatic akan ekologi. Bagaimanapun juga, kita harus ingat bahwa bukanlah dunia Alkitabiah yang harus dipersalahkan untuk masalah masalah ekologi kita, tetapi malahan kegagalan kita untuk hidup menurut Kitab Suci.

RINGKASAN DAN KESIMPULAN.
Ada 3 pandangan utama mengenai lingkungan, setiap pandangan tersebut muncul dari satu pandangan dunia yang berbeda. Pandangan materialistic melihat lingkungan sebagai sumber energy yang tidak terbatas yang setelah beberapa waktu menghasilkan manusia manusia yang, melalui sifat baik dari status evolusi mereka yang lebih tinggi, menguasai bumi di sekitar mereka. Melalui teknologi, mereka dapat mengubah lingkungan mereka dalam cara cara yang disukai untuk tujuan tujuan akhir mereka sendiri. Berseberangan dengan pandangan ini adalah paham panties yang mempercayai bahwa alam itu ilahi. Karena itu, kewajiban kitalah yang memuja muja alam dan melindunginya terhadap campur tangan teknologi. keKristenan, dibandingkan keduanya, tidak mempercayai eksploitasi teknologi maupun pemujaan mistik. keKristenan berpegang bahwa Allah adalah pencipta dan manusia adalah pemelihara bumi yang bagus sekali dan mulai ini dimana tugas kitalah untuk menjaga dan bukan merusak, untuk memelihara dan bukan untuk mengotorinya.
Ada satu ironi yang aneh tentang polusi yang dilakukan manusia di bumi ini: dengan mengotori lingkungan kita, kita meracuni makanan dan minuman sendiri. Jadi, kita tidak hanya berdosa terhadap lingkungan saja, tetapi terhadap diri kita juga.
Kita berdosa terhadap orang orang yang akan mendiami bumi dan terhadap Allah yang menjadikan bumi, baik sebagai satu wahyu tentang diriNya sendiri maupun bagi kebaikan kita. Bahkan jika kita menghancurkan diri kita sendiri dengan mengotori lingkungan, lingkungan akan tetap di dalam satu bentuk atau bentuk yang lain. Kita dijadikan sebagai penjaga bumi, dan jika kita tidak menjaga bumi, maka bumi tidak akan menjaga kita.
Pertanyaan yang harus kita ajukan pada diri kita sendiri saat ini adalah: Apakah saya seorang penjaga bumi?, jika saya bukan penjaga bumi, maka akan menjadi semakin jelas bahwa saya bukanlah penjaga saudara saya. Ini adalah bumi saudara saya, dan jika saya tidak menjaganya, maka bumi ini tidak akan menjaga baik dia ataupun saya.


Hasil pemikiran Norman L. Geisler

0 Response to "Etika Lingkungan Hidup: Sudut Pandang Alkitab (Kristen) Part 3"

Posting Komentar

Postingan Populer

Label