Memaafkan Orang Lain, Untuk Siapa Sebenarnya?

Memaafkan Orang Lain, Untuk Siapa Sebenarnya?

Tanggal 6 desember 1997, Mary “lily” Baehr, usia 80 Tahun, digorok lehernya hingga terputus dan dibiarkan mati perlahan di sebuah gudang cuci di rumahnya yang berlokasi di lokasi Baldwinsville, New York. Kira kira dua tahun kemudian, pembunuhnya Kenneth Hobart, yang telah memiliki reputasi sebagai seorang kriminal ditangkap. Segera setelah itu ia mengakui perbuatannya membunuh Lily karena usahanya untuk merampok rumahnya ketahuan oleh lily. Tanggal 19 Januari 2000, Kenneth Hobart dijatuhi hukuman 25 tahun penjara. Lebih ringan dari tuntutan hukuman mati yang seharusnya ia terima sesuai dengan hukum.
Hal yang menarik, sebelum keputusan dijatuhkan oleh pengadilan, Bruce Baehr, yakni anak “Lily” membacakan pernyataannya kepada Hobart dengan meneteskan air mata. Begini bunyi pernyataannya, “Saya ingin anda mengetahui bahwa anda telah mengambil kehidupan dari seseorang yang begitu berharga bagi keluarga kami. Tindakan anda, yang dengan kejam mengakhiri hidupnya telah meninggalkan kepedihan yang luar biasa di dalam diri kami. Tapi, kami ingin anda mengetahui apa yang telah kami pelajari dari Mary Lily Baehr dan dari pengalaman pahit ini, kami yakin mengenai kata kata Mary Lily Baehr ingin kami kami katakana padamu hari ini….kami memaafkanmu”.
Ketika banyak orang bertanya bagaimana mungkin Bruce sekeluarga dapat mengampuni orang yang telah merengut kehidupan ibu kandungnya dengan sangat biadab, menjawab, “pengampunan ini perlu supaya kami bisa melanjutkan kehidupan kami yang tersisa. Kami yakin, ibu kami tidak ingin kehidupan kami hancur karena luka batin dan kebencian yang berkepanjangan. Tuhan telah memaafkan kebencian kami maka kami pun layak memaafkannya”.
Banyak orang berpikir memaafkan berarti memberikan keuntungan bagi orang yang telah melukai hati kita, atau istilahnya “memberi angina” bagi orang lain yang telah menyebabkan diri kita dihantui rasa benci, marah dan dendam. Hal ini mirip dengan apa yang pernah dikatakan oleh Helen Prejean, CJS, penulis novel terkenal dead man walking, yang filmnya dipuji karena berbicara dari berbagai aspek terlupakan soal hukuman mati bagi para kriminal.
Menurut Helen, “Dalam masyarakat kita, memaafkan seringkali dilihat sebagai kelemahan. Seseorang yang memaafkan orang yang telah melukai hati mereka atau hati keluarga mereka, dibuat merasa bersalah seakan akan mereka tidak peduli terhadap orang yang mereka cintai, jika mereka bersedia memaafkan”.
Hal ini pula yang menyebabkan orang merasa enggan atau sulit memberian pemaaf bagi orang lain. Namun, lanjut Helen lagi,
“Memaafkan adalah kekuatan yang luar biasa. Memaafkan adalah tindakan seseorang yang menolak untuk menjadi korban kebencian dan rasa dendamnya”.
Jadi, menurutnya, keyakinan bahwa memaafkan sama dengan memberikan kesempatan, peluang, atau manfaat bagi orang yang melukai kita, sebenarnya salah besar. Setidak tidaknya inilah yang berlaku dalam proses terapi psikologi menyangkut dendam dan kemarahan.
Yang jelas, pertama tama, pemaafan itu penting bagi diri kita yang membenci dan mendendam. Pemaafan itu bukanlah untuk orang lain. Dengan terus menerus menaruh dendam dan amarah dalam diri kita terhadap orang lain yang pernah menyengsarakan hidup kita, berarti kita masih terus menerus membiarkan orang itu melukai hari kita. Bukankah ini suatu hal yang ironis?
Di satu sisi kita telah merasa dilukai, tetapi kita toh terus menerus membiarkan hati kita dipersusah dan disesakkan oleh rasa marah serta benci kepada orang itu. Jadi, artinya kita masih membiarkan diri kita terus menerus dilukai oleh orang tersebut. Bahkan, mungkin sementara orang yang telah membuat hati kita susah, tidak merasakan apapun, hidupnya berjalan dengan normal dan tenang tenang saja. Sementara, hidup kita terus menerus diliputi rasa benci, dendam, dan menjadi kurang produktif, serta tidak efektif karena kemarahan yang masih menumpuk di hati kita.
Berkaitan dengan hal ini, ada suatu kisah menarik mengenai pendeta besar “Big Kahuna” pada masyarakat primitive yang tinggal di Hawaii. Para big kahuna ini percaya bahwa tugas manusia di dunia hanya ada 2, yaitu meningkatkan level energy kehidupan atau mengurangi energy kehidupan. Mereka yakin bahwa dengan berbuat baik, maka energy hidup akan mengalir keluar dari diri mereka dan selanjutnya mereka pun akan menerima energy yang jauh lebih besar lagi. Perbuatan baik seperti menolong orang ataupu  menyiram tanaman bisa meningkatkan energy kehidupan.
Namun, bila mereka menahan kelakuan sesuatu atau melakukan hal yang tidak baik, maka energy kehidupan itu akan berbalik merusak energy kehidupan mereka sendiri, hingga akibatnya mereka terperangkap dalam level energy yang semakin rendah. Jadi, jika misalnya mereka membenci atau mendendam maka tidak ada energy yang mengalir sehingga terperangkaplah energy itu dalam dirinya yang membuat mereka justru semakin terikat dalam siklus energy yang merusak itu, kiranya, filosofi kehidupan masyarakat Hawaii yang sederhana ini sungguh dapat menjadi metafora kita bahwa sesungguhnya kita justru mengikat diri sendiri, saat kita tidak mau memberikan pemaafan. Semakin besar kebencian dan dendam itu, semakin besar ikatan dalam diri kita yang perlu dilepaskan.
Jadi, marilah pertama tama kita simpulkan bahwa memaafkan itu penting bagi kita, yang merasakan kebencian serta dendam. Pemaafan itu berarti kita justru membuat keputusan besar untuk tidak lagi membiarkan orang lain yang telah melukai hati kita, masih memiliki kekuatan untuk terus menerus melukai hati kita lebih lanjut. Yang terpenting bagi kita, minimal kita harus belajar membiarkan pergi perasaan yang masih menghantui diri kita. Inilah yang disebut sebagai kekuatan dari “membiarkan masa lalu berlalu” (The power of letting go).
Dalam hal ini, kita meski membiarkan peristiwa yang berlalu, lewat dari ingatan dan pemikiran kita. Kita perlu membiarkan perasaan marah dan benci yang terjadi sirna perlahan lahan dari hati kita sejalan dengan berlalunya waktu.
Karena, tidak ada gunanya lagi kita terus menerus menyimpan perasaan itu. Inilah sesungguhnya kemenangan kita, yaitu jika kita telah berhasil menguasai perasaan dendam dan amarah itu serta tidak lagi membiarkan orang yang pernah melukai kita terus menerus menguasai hidup kita dengan kenangan kenangan yang pahit dan memilukan.
Seperti dikatakan oleh penulis Paul Boese dalam kata katanya yang dapat memberikan inspirasi banyak bagi kita soal pemaafan,
“Memaafkan meman tidak akan mengubah masa lalu kita, tetapi ia akan memperluas jangkauan masa depan kita”

Malcolm Forbes, miliader terkenal mengatakan bahwa mengingat ngingat masa lalu, membenci dan membalaskan dendam, serta sakit hati hanyalah membuat hidup kita lebih kerdil dari diri kita yang sesungguhnya.

0 Response to "Memaafkan Orang Lain, Untuk Siapa Sebenarnya?"

Posting Komentar

Postingan Populer

Label