Respek Kepada Manusia; Pekerjaan & Globalisasi

Respek Kepada Manusia; Pekerjaan & Globalisasi

Meski variasi, teori manajemen dari tahun 1940, 1950 dan 1960 paling tidak senada dalam reaksi mereka terhadap kekurangan kekurangan manajemen ilmiah Frederick Taylor. Kesalahan utama manajemen ilmiah adalah bahwa ia membiarkan faktor manusia di luar perhitungan pendesainan tugas. Sebagai akibat langsung, tugas tugas yang didesain menurut dasar prinsip prinsip ilmiah. Taylor menghasilkan berbagai reaksi negative, seperti sikap apatis, kecewa, marah, absen, penetapan gaji dan keluhan. Desain pekerjaan yang hanya menggunakan hukum hukum fisika dan prinsip prinsip teknik mesin telah salah dikenakan pada manusia. Riset di lapangan telah memberikan bukti jelas melimpah, demikian penulis biografi Taylor, Sudhir Kakar, bahwa perhatian berlebihan pada perbaikan sistem teknik, seperti teknologi kerja, berbagai tuntutan fisik dan mekanik, memberi dampak bertentangan dengan sistem sosial-psikologis yang di dalamnya pekerja menjadi bagian, sehingga berpengaruh buruk pada keseluruhan produktivitas. Sesudah eksperimen Hawthorne, manajemen berpaling ke ilmu ilmu perilaku manusia seperti sosiologi dan psikologi untuk mendapatkan petunjuk tentang dinamika motivasi manusia dan petunjuk dalam merancang tugas tugas dengan cara yang tepat. Ditinjau dari segala segi, teori dan praktik manajemen menjadi lebih berwawasan, manusiawi dan sensitif secara etis.
Namun bahkan sesudah pergeseran ini, ide tentang prediksi dan control secara ilmiah masih kokoh tersembunyi dalam kesadaran manajerial. Masalah dengan manajemen ilmiah bukanlah bahwa ia berusaha mengendalikan perilaku manusia, tetapi bahwa ia berusaha melakukannya dalam cara cara yang tidak lagi menghasilkan. Ia harus dibuang, murni atas dasar pertimbangan pragmatis. Para pekerja masa kini, catat McGregor, tidak terlalu tergantung pada para pengupah mereka seperti pada waktu zaman Taylor. Jarum jam sudah berputar, dan para pengupah masa kini sama bergantungnya pada pegawai mereka seperti para pegawai pada para pengupah mereka.
Yang perlu diperhatikan dalam situasi baru ini, bukanlah penolakan terhadap kendali, tetapi pembentukan metode control yang lebih canggih. Metode tersebut tidak lagi berupaya membuat orang melakukan apa yang sebenarnya tidak suka mereka lakukan dengan memakai ganjaran ganjaran ekstrinsik, tetapi memotivasi mereka melalui ganjaran ganjaran intrinsic. Tugas manajer menolong para pegawai “menemukan sasaran sasaran yang sinambng dengan tuntutan organisasi dan dengan kebutuhan pribadi mereka sendiri. Manajer harus belajar bekerja dengan sifat manusia, bukan menentangnya”. “Kita akan dapat memperbaiki mutu pengendalian kita hanya jika kita mengakui bahwa pengendalian terdiri dari penyesuaian selektif kepada sifat manusia, lebih dari usaha membuat sifat manusia menyesuaikan diri dengan keinginan kita”. Pendekatan baru ini disebut oleh McGregor sebagai “adaptasi selektif” yang memerlukan masukan canggih dari psikologi manusia. Untuk dapat mengatur dengan baik, para manajer harus dapat membedakan berbagai kebutuhan tak terpuaskan dari perseorangan jika mereka ingin menggunakan berbagai kebutuhan tersebut dalam pekerjaan yang akan menguntungkan perusahaan. Jika pekerjaan dapat didesain untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka orang akan menjalankan tugasa dan produktivitas tinggi akan dicapai, serta semua hal lainnya menjadi setara.
Ada sesuatu tentang strategi dalam teori manajemen ini yang menarik, bahkan perlu dianjurkan. Tugas tugas kini harus didesain supaya manusia yang mengerjakannya dapat menemukan pemenuhan diri di dalamnya. Siapa dapat menentang pendekatan humanis kerja ini?. Namun ada sesuatu yang mengganggu yaitu tentang bagaimana cara yang menekankan pengendalian tidak langsung melalui psikologi diwujudkan.
Peter Drucker, ahli manajemen yang naik daun di 2 dekad terakhir ini, menyebutnya “despotism dngan terang psikologi”. Drucker mencatat bahwa para penulis psikologi perindustrian masa iini, “menggunakan ungkapan seperti pemenuhan diri, kreativitas dan manusia seutuhnya”. Tetapi apa yang mereka bicarakan dan tulis ini maksudnya adalah pengendalian melalui manipulasi psikologis.
Manajemen bukan lagi urusan mengendalikan manusia atas dasar kebutuhan kebutuhan ekonomi mereka, tetapi atas kebutuhan kebutuhan psikologis. Dengan menjadi pelayan yang sangat dibutuhkan untuk para pegawai dalam mereka mencari pemenuhan diri, para manajer sejatinya menjadi tuan atas mereka. Di bawah pengaturan psikologis baru ini, Drucker menulis, persuasi mengganti perintah, tetapi tetap saja ini sebentuk despotism.
Menurut Drucker, pendekatan manajemen berdasarkan psikologi harus ditolak karena melanggar perintah etis mendasar: Hormat kepada orang lain. Relasi kerja harus didasari sikap saling hormat. Manajemen dengan mengandalkan psikologi hampir tidak mengandung unsur respek kepada integritas pribadi pegawai. Pegawai dianggap lemah secara psikologis dan merupakan orang orang berkebutuhan yang meminta pendampingan dari manajer untuk mencapai aktualisasi diri mereka. Akibatnya, relasi antara manajer dan pegawai berubah menjadi relasi antara terapis dank lien. Lagipula pendekatan ini berpura pura bahwa tujuan kerja adalah memajukan kesehatan psikologis pegawai, padahal sesungguhnya tidak benar.
Selain itu, pendekatan berbasis psikologi tidak saja tidak etis, tetapi tidak akan berjalan sebab ia menuntut kemahatauan di pihak manajer. Manajer harus memahami seluruh teori psikologi dengan benar bersama dengan semua aplikasinya ke berbagai orang dalam berbagai situasi berbeda. Tetapi manusia dipertuhan adalah manusia kejam, dan usaha untuk mengatur dengan kemahatauan psikologis akhirnya akan menghasilkan kesalahan demi kesalahan.
Menurut Drucker, manajemen harus mengandaikan bahwa motivasi untuk bekerja sudah ada, dan bahwa ada paling sedikit sejumlah besar orang dalam tenaga kerja yang ingin mencapai sesuatu. Tugas manajemen bukan memotivasi orang untuk bekerja, tetapi memungkinkan mereka mencapai melalui kerja dan bersamaan dengan itu membuat pekerjaan mereka berdampak dalam memajukan sasaran sasaran perusahaan. Meskipun tugas manajemen dikondisi oleh struktur motivasi manusia, organisasi dan arah kerja pada intinya harus ditetapkan oleh sasaran sasaran organisasi dan bukan oleh psikologi manusia. Maka Drucker menganjurkan, “Manajemen berdasarkan sasaran”. Pengalaman dengan pendekatan human relations menunjukkan bahwa pekerja yang bahagia tidak harus menjadi pekerja yang lebih produktif. Ada kemungkinan mengorganisasi kerja sampai memuaskan kebutuhan psikologis, tetapi pekerjaan itu sendiri tetap tidak efektif. Psikologi manusia menentukan batasan batasan, tetapi tidak memberikan substansi dari desain pekerjaan. Pekerjaan tidak boleh terlalu disederhanakan, mengulang ngulang, atau bertempo seragam. Pekerjaan seperti itu umumnya melawan sifat dan kecenderungan jiwa manusia. Namun psikologi tidak menjelaskan bagaimana pekerjaan harus didesain. Ia dapat menolak apa yang secara psikologis tidak mungkin dikerjakan, tetapi ia tidak dapat menunjukkan apa yang harus diikutsertakan.
Demikian juga analisis kerja secara ilmiah yang dipraktikkan dan dianjurkan oleh Taylor, tidak dapat memberitahu bagaimana pekerjaan harus didesain. Ia dapat membedah unsur unsur pekerjaan, ia dapat menemukan unsur unsur yang paling efektif. Ia dapat meniadakan unsur unsur yang tidak perlu. Tetapi ia tidak dapat mengajar kita bagaimana unsur unsur lainnya harus digabungkan menjadi satu.
Jadi kemana kita harus berpaling menemukan bimbingan tentang pendesainan kerja secara memadai?, jawab Drucker demikian: ke para pekerja sendiri. Para pekerja harus bertanggung jawab untuk pekerjaan mereka. Dan antara lain itu berarti mereka harus terlibat merancang pekerjaan mereka sendiri. Bukan karena keterlibatan itu akan memuaskan kebutuhan mereka untuk mengendali, membuat mereka lebih bahagia dan menjadi lebih produktif – meski boleh jadi demikian- tetapi karena para pekerja memiliki segudang pengetahuan dan keahlian dalam hal yang menyangkut pekerjaan mereka, mereka yang seringkali berada dalam posisi terbaik untuk menentukan secara tepat bagaimana komponen komponen kerja itu harus dijalankan. Bertentangan dari kecenderungan dalam manajemen ilmiah yang berusaha meniadakan pengetahuan dan pertimbangan para pekerja. Drucker berusaha memanfaatkan pengetsahuan dan pertimbangan mereka dalam rangka membuat pekerjaan mereka menjadi efektif. Intinya, tulis Drucker, bagaimana menggunakan pengetahuan dan pengalaman bekerja dalam wilayan dimana ia adalah ahlinya.
Mengatakan bahwa para pekerja harus bertanggung jawab tidak berarti bahwa pihak manajemen harus kehilangan semua otoritas, dan bahwa para pekerja yang memiliki kata akhir dalam bagaimana menjalankan semua aspek perusahaan. Tetapi ini memang berarti bahwa organisasi harus distrukturkan dimana semua orang melihat dirinya sebagai seorang manajer dan menerima seluruh beban tanggung jawab dasar manajerial untuk dirinya sendiri, yaitu tanggung jawab untuk tugasnya dan kelompok kerjanya, untuk kontribusinya kepada pelaksanaan dan hasil keseluruhan organisasi dan untuk tugas sosial komunitas kerja itu.
Menegaskan bahwa para pekerja harus dibuat bertanggung jawab dan bahwa organisasi harus distrukturkan secara sesuai, berarti memantang seseorang tentang prinsip dasar manajemen ilmiah dari Taylor, yaitu pembagian kerja secara tegas antara perencanaan dan pelaksanaan. Di dalam organisasi yang dijalankan oleh manajemen ilmiah, manajemen menyediakan otak sementara pekerja menyediakan otot. Yang satu merencanakan pekerjaan, yang lain melaksanakan pekerjaan. Drucker mengakui bahwa merencana dan melaksana adalah fungsi operasional yang berbeda, tetapi ia menyangkal bahwa keduanya harus dibebankan kepada orang berbeda. Perencana dan pelaksana perlu disatukan dalam orang yang sama. Mereka tidak dapat diceraikan, atau jika tidak, perencanaan akan tidak lagi efektif dan akan benar benar menjadi ancaman bagi pelaksanaan kerja.
Taylor mendasari usulnya untuk menceraikan perencanaan dan pelaksanaan atas argument tentang ketidaktahuan pekerja. Namun ia mengakui bahwa perkembangan ilmu untuk mengganti aturan aturan tradisional dalam kebanyakan kasus bukan suatu tindakan yang sukar dan dapat dilakukan oleh orang kebanyakan tanpa perlu latihan keilmuan yang rumit.
Konsep kerja bertanggung jawab dan turunannya yaitu reintegrasi perencanaan dan pelaksanaan, mengandung implikasi implikasi meluas ke adalam relasi antara manajemen dan pekerja. Relasi tersebut tidak lagi dapat diterjemahkan sebagai bentuk relasi antara tuan dan budak. Pengakuan terhadap pengetahuan dan keahlian para pekerja membuat mereka beroleh sejumlah otoritas dan lingkup tanggung jawab dimana mereka dapat menjalankan otoritas.
Agar supaya mereka menjalankan pekerjaan mereka dalam cara bertanggung jawab dan efektif, tentunya, para pekerja memerlukan 3 hal, demikian kata Drucker. Mereka perlu dapat memanfaatkan studi ilmiah dan analisis tentang lapangan kerja mereka, mereka perlu umpan balik secara teratur tentang pekerjaan mereka, dan mereka perlu belajar secara berkesinambungan. Dan disinilah tepatnya manajamen masuk. Tugas utama manajemen adalah menyediakan apa yang diperlukan oleh para pekerja agar melakukan tugas mereka dengan efektif. Mengandalkan keahlian para pekerja dalam lingkup pekerjaan mereka tidak berarti membiarkan masing masing mereka berkeliaran dan berbuat sesuai apa yang baik menurut anggapan mereka. Kenyataannya manajemen tidak maha sanggup, itu sebabnya ia harus mengandalkan keahlian para pekerja. Namun para pekerja pun tidak maha sanggup. Untuk dapat bekerja secara efektif, mereka harus didukung oleh keahlian manajemen. Keahlian itu dalam bentung pendampingan teknis, nasehat, informasi, komunikasi, koordinasi dengan unsur unsur terkait dalam organisasi, serta bimbingan dalam membuat pekerjaan berkontribusi untuk sasaran sasaran organisasi.
Karena ketergantungan antara pekerja dan manajemen, peran tradisional dalam organisasi bersangkutan harus berubah. Para supervisor harus menjadi pendamping. Peran tepat supervisor bukanlah memberikan supervise, melainkan pengetahuan, informasi, menempatkan, melatih, mengajar, menetapkan standard dan membimbing. Sebagai pendamping bagi para pekerja, manajer tidak lagi dalam posisi supervisor tradisional, yaitu mewakili interes perusahaan di atas dan melebihi interes para pekerja, melainkan melalui melayani para pekerja dalam melaksanakan pekerjaan mereka, para manajer pada saat yang sama memajukan sasaran sasaran organisasi. Jika para pekerja ingin membuat pencapaian dalam pekerjaan mereka, secara prinsip tidak ada konflik kepentingan antara kebutuhan para pekerja dan kebutuhan organisasi.
Sebuah contoh tentang bagaimana relasi simbolis antara tenaga kerja dan manajemen dapat mencapai produksi efektif dapat ditemukan dalam Zeiss Optical Works. Didirikan oleh Carl Zeiss di abad ke 19, Zeiss sejak itu telah menetapkan standar industri yang menghasilkan peralatan lensa yang unggul. Ketika Zeiss meninggal pada tahun 1888, Ernst Abbe, seorang ahli fisika, memimpin perusahaan itu. Seperti sezamanya Frederick Taylor, Abbe melakukan analisis menyeluruh tentang proses proses yang terlibat dalam pembuatan kaca dan lensa optic. Namun beda dari Taylor, ia menyerahkan desain actual mesin dan proses pabrikan itu kepada para pekerja itu sendiri. Mereka menerima pendampingan teknis dan nasehat dari para ilmuwan dan insinyur, tetapi pekerjaan mereka tidak ditetapkan oleh para ahli tersebut. Abbe menyadari bahwa para pekerja itu sendiri memiliki jenis pengetahuan dan keahlian yang membuat mereka memiliki otoritas dalam penentuan bentuk kerja yang harus mereka jalani. Seorang perajin memegang control dalam pekerjaannya. Ini bukan sekedar slogan, tetapi prinsip desain kerja yang tidak boleh dilanggar.
Kita tidak perlu melihat jauh ke belakang, untuk melihat contoh contoh tentang keunggulan perusahaan yang dicapai melalui kerja yang bertanggung jawab. IBM, Hewlett Packard, Herman Miller, Delta Airlines, dan Preston Trucking adalah sedikit nama nama yang bisa disebut di ini, ditambah mayoritas perusahaan perusahaan Jepang yang dijalankan atas prinsip prinsip yang sama. Kuncinya, menurut kesimpulan Drucker, cara ini melihat manusia sebagai sumber daya daripada sebagai masalah, dan memimpin mereka daripada mengontrol mereka.
Jadi kita perlu menerapkan 3 hal penting:
1. Respek terhadap manusia
2. Manajemen yang Objektif
3. Kerja yang bertanggung jawab
Jika ke 3 hal ini dapat diterapkan ke dalam perusahaan, organisasi, dan institusi, baik itu pendidikan, nasional dan internasional maka kita tidak akan lagi terjebak dengan lingkaran setan tentang manajemen yang berbasis hanya memandang manusia sebagai benda.










0 Response to "Respek Kepada Manusia; Pekerjaan & Globalisasi"

Posting Komentar

Postingan Populer

Label