“Uang, Seks Dan Kekuasaan” Part 1-2

“Uang, Seks Dan Kekuasaan” Part 1-2

Godaan lipat tiga: uang, seks dan kekuasaan merupakan tiga hal yang merangkum dengan tepat berbagai tekanan yang kita hadapi dalam kehidupan sehari hari. Marilah kita perhatikan dengan baik berbagai opera sabun, entah itu berasal dari timur atau barat untuk menunjukkan tema tersebut. Malahan, jika kita dapat menganalisisnya dengan baik, kita akan menemukan bahwa tiga hal tersebut mengungkapkan segala godaan dalam hidup kita. Tekanan semacam ini dialami semua orang dimanapun. Bahkan, kehidupan tradisi membiara memperlihatkan pemahaman yang dalam untuk menghadapi tekanan tersebut. Tiga janji biarawan: “Kemiskinan, kesucian dan ketaatan”, merupakan tanggapan langsung terhadap tiga godaan tersebut. Tanggapan yang serupa juga dilakukan oleh kaum Puritan pada abad ke 17 yang memusatkan pada industri, kesetiaan, dan keteraturan (Foster 1985, 4-12).
Kajian modern yang sangat baik mengenai ketiga hal ini adalah Money, Sex, And Power: The Spiritual Diciplines Of Poverty, Chastity And Obedience (1985) yang ditulis oleh Richard Foster. Saya akan menyampaikan hanya secara singkat apa yang dia tulis.
Foster menulis dengan tepat bahwa ketiga hal tersebut tidak jahat dalam dan dari dirinya sendiri. Ketiga hal tersebut merupakan anugerah yang diberikan Tuhan bagi kehidupan kita. Tetapi, sama seperti anugerah yang lain yang diberikan oleh Tuhan, setiap anugerah dapat menjadi “buruk” jika kita salah menggunakan atau memanfaatkannya. Karena itu, Foster mengingatkan kita bahwa ketiga hal tersebut merupakan:
“…….TEMA TEMA YANG MUDAH BERUBAH MENJADI “SETAN” YANG MENJADIKAN HIDUP KITA DIPENUHI DENGAN PENDERITAAN YANG HEBAT……..
SETAN DALAM UANG ADALAH KESERAKAHAN. TIDAK ADA YANG DAPAT MEMUSNAHKAN HASRAT UNTUK MEMILIKI DALAM DIRI MANUSIA. DALAM “THE IDIOT”, DOSTOEVSKY, MENGAMATI SALAH SATU KARAKTER MANUSIA, “SETIAP ORANG BERHASRAT DALAM KESERAKAHAN DEWASA INI. MEREKA BEGITU DIKUASAI OLEH IDE MENGENAI UANG, SEHINGGA HAMPIR GILA DIBUATNYA”……
SETAN DALAM SEKS ADALAH NAFSU. SEKSUALITAS YANG SEJATI MENJADIKAN KITA MANUSIA, TETAPI NAFSU MERENDAHKAN MANUSIA. NAFSU LEBIH BERSIFAT MEMENJARAKAN DARIPADA MEMERDEKAKAN, LEBIH BERSIFAT MEMBINASAKAN DARIPADA MEMELIHARA……
SETAN DALAM KEKUASAAN ADALAH KESOMBONGAN. KEKUASAAN SEJATI SELALU BERTUJUAN UNTUK MEMBEBASKAN ORANG ORANG, TETAPI KESOMBONGAN SELALU INGIN MENDOMINASI. KEKUASAAN SEJATI MEMBINA BERBAGAI HUBUNGAN, KESOMBONGAN MERUSAKNYA…..
SETAN SETAN KESERAKAHAN, NAFSU DAN KESOMBONGAN DAPAT DIUSIR, TETAPI IZINKAN SAYA UNTUK MENGINGATKAN BAHWA PENGUSIRAN (EXORCISM) TIDAK DAPAT BERJALAN MUDAH ATAU CEPAT (FOSTER, 1985,13).


Foster menyasar dengan tepat. Ajaran ajaran Alkitab berkaitan dengan tema teman tersebut juga terlalu banyak untuk disebutkan di sini. Namun, saya penasaran apakah kita cukup sadar dengan kekuatannya yang begitu halus dan menghancurkan, atau juga dengan tekanan tanpa belas kasihan yang menggilas kesadaran dan kehendak kita yang rapuh. Kurangnya pengajaran yang berkaitan dengan tema tema tersebut dalam Gereja kita, adanya suatu penekanan di kalangan orang Kristen bahwa nilai kekayaan dan kesuksesan menentukan pilihan karir dan pasangan hidup, upaya beberapa gerakan yang memberikan rasionalisasi teologis melalui “Injil Kemakmuran” untuk mendapatkan kesuksesan dan kekayaan, dan berbagai bukti lainnya hanya menunjukkan bahwa orang Kristen gagal mengatasi permasalahan ini. Semua fakta ini menyatakan begitu lemahnya kesadaran kita menghadapi tekanan eksternal yang tanpa belas kasihan.
Kita perlu bertanya, “Berapa banyak para pemimpin Kristen yang “sukses”, baik dalam kehidupan Gereja dan Publik, dapat memelihara integritas dan kesederhanaan hidup yang mencerminkan nilai nilai Kerajaan Allah?”, “Berapa banyak keluarga yang tahan uji sesuai dengan Standar Perjanjian Baru?”, “Berapa banyak orang yang mampu menjalani hidup dengan sikap seorang hamba, mengikuti teladan Kristus, yang tidak menghamba pada kekuasaan?”, “Dan, berapa banyak kegagalan terjadi karena sikap naïf kita menghadapi tekanan tersebut?”.

“Uang, Seks Dan Kekuasaan” Part 2

“Ketidakcukupan Spiritualitas Kita”.
Penjelasan singkat di atas mengarahkan kita pada pertanyaan, Apakah kita memiliki kondisi spiritual yang memadai dan sumber sumber teologis untuk menghadapi tekanan tekanan dari uang, seks dan kekuasaan.
Ada begitu banyak wilayah dimana sumber sumber spiritual kita tidak memadai. Wilayah pertama dari ketidakcukupan ini adalah karena kita tidak menyadari secara utuh kuasa dosa dalam hidup kita. Dalam kesempatan ini, saya tidak akan mendiskusikan topic ini secara komprehensif. Sayangnya, dewasa ini kebanyakan literature Kristen populer membahas topic dosa secara dangkal!.
Meski demikian, bahan bahan yang baik juga dapat ditemukan dengan mudah. Pokok utama yang perlu ditekankan adalah bahwa dosa merupakan kekuatan merusak dalam kodrat manusia dan perlu dipahami demikian adanya. Pada Teolog Reformed menyebutkan kekuatan merusak dari dosa sebagai “Kerusakan Total”, dalam pengertian bahwa sebaik apapun tindakan kita tidak akan pernah baik atau murni secara utuh. Martin Luther, pemimpin terkemuka Reformasi Abad ke 16, mengatakan tentang “Budak Kehendak”, sebagai judul dari karya pentingnya. Baik kerusakan total dan budak kehendak selaras dengan pengajaran Alkitab (Jer. 17:9; Mrk.14:38b; Rm.7:14-24).
Penyebab kedua adalah dosa yang begitu mencengkeram kehidupan sehingga kita mudah dikalahkan oleh jiwa kita yang rusak. Faktanya, keberadaan diri kita yang terdalam telah rusak. Di satu sisi kita perlu dibebaskan dari kerusakan ini melalui berbagai latihan disiplin rohani (Rm.8:5-8) dan juga pertolongan dari kuasa Roh Kudus (Rm.8:9-13) di sisi lainnya. Namun, dunia di sekitar kita merupakan wilayah yang jauh dari suci. Bahkan, opera sabun di televise kita menunjukkan sebaliknya – dimana kekuatan yang merusak dari uang, seks dan kekuasaan seringkali ditampilkan dengan sangat leluasa!. Sangatlah sulit menemukan bantuan pastoral untuk menahan kerusakan jiwa kita lebih lanjut karena cara pandang teologis Gereja sedikit bergumul dengan wilayah ini.
“Cara Pandang Dualistis”.
Wilayah kedua yang menunjukkan sumber sumber spiritual kita tidak memadai adalah ketidakcukupan dalam membentuk pemahaman yang utuh mengenai dunia. Hal ini disebabkan karena sebagian besar kita terserap ke dalam sistem intelektual teologi barat. Teologi semacam ini seperti yang akan kita lihat, memiliki sifat dualistis.
Dalam tahap yang sederhana, sifat dualistis ini dapat kita lihat dalam pemisahan Platonis yang membagi manusia dalam tubuh dan jiwa. Tubuh berasal dari dunia fenomenal yang tidak sempurna (misalnya, dunia nyata yang kita hidupi saat ini), sedangkan jiwa berasal dari dunia yang sempurna (Platon menyebutnya sebagai dunia Forma). Akibatnya, teologi Kristen yang dipengaruhi filsafat Yunani memandang manusia dalam kerangka dualistis. Jiwa merupakan hal yang lebih penting daripada tubuh, padahal Alkitab memandang manusia sebagai suatu kesatuan.
Dalam tahap yang paling pokok dan mendasar, cendikiawan Cina, Carver Yu (1987), mengatakan bahwa realitas yang digambarkan filsafat Yunani, sebagai sesuatu yang “sempurna pada dirinya”, pengada yang mengadakan dirinya sendiri, dan penggerak yang tidak digerakkan, merupakan realitas yang sempurna pada dirinya sendiri dan tidak membutuhkan interaksi atau campur tangan dari realitas lainnya. Realitas macam itulah yang menjadi dasar berkembangnya individualism dalam pemikiran barat. “Ada” atau “Pengada” itu menjadi ada karena dirinya sendiri tanpa interaksi dengan pengada pengada lainnya.
Pemahaman individualistis mengenai pengada ini menjadi dasar filsafat barat modern melalui Descrates. Dalam pernyataan terkenalnya, “Aku berpikir, maka Aku ada”. Kata “Aku” merupakan pengada atau substansi (dalam bahas Aristotelian) yang makna dan keberadaannya ditentukan di dalam dan dari pengada itu sendiri. Dengan kata lain, makna dari keberadaan “Aku” tersebut tidak membutuhkan referensi dari dunia eksternal. Akibatnya, individualism sangat berkembang dalam pemikiran barat (Yu, 1987, 98-105).
Pada tahap selanjutnya, individualism ini akan menekankan konsep keselamatan yang individualistis dan berorientasi pada jiwa (spiritual). Penekanan ini meluas dalam teologi barat, sejak Agustisnus (Bosch, 1991, 215-217). Di zaman Agustinus, doktrin mengenai kekekalan jiwa sudah dianggap sebagai kebenaran umum, hal ini merupakan salah satu indikasi yang memperlihatkan dengan jelas pengaruh filsafat Yunani dalam teologi Kristen (Pelikan 1971, 51). Bagi, Agustinus, keselamatan itu bersifat duniawi dan individualistis yang menekankan pada penebusan jiwa dibandingkan pendamaian dengan dunia. Menurut David Bosch, pendapat tersebut merupakan, “…benih cara pandang yang dualistis mengenai realitas. Dan akhirnya menjadi sifat alamiah- kedua dalam keKristenan barat- suatu kecenderungan untuk menganggap keselamatan sebagai persoalan pribadi dan mengabaikan dunia” (Bosch 1991, 216). Dengan demikian, dikotomi tubuh-jiwa Platonis yang digabungkan dengan individualism Cartesian akan mengukuhkan cara pandang barat yang dualistis terhadap realitas. Hal serupa juga terjadi dalam teologi barat mengenai konsep keselamatan yang individualistis dan berorientasi pada jiwa.
Secara keseluruhan, hasil dari perkembangan pemikiran tersebut juga membentuk kategori ketegori yang dualistis dalam berbagai aspek: diri dan dunia, jiwa dan tubuh, roh dan materi, agamawi dan sekuler, dan seterusnya. Dampak kategori dualistis ini pun jelas terlihat paa teologi dan etika. Kita tidak lagi berpikir secara utuh dan mulai bertanya: Apakah jiwa lebih penting daripada tubuh?, Apakah keselamatan itu bersifat spiritual (menyelamatkan jiwa), atau jasmani dan sosiopolitis (menyelematkan tubuh dan masyarakat)?
Baik kaum Liberal dan Injili juga Karismatik cenderung menerima dualism tersebut. keKristenan Liberal modern menolak keselamatan yang berorientasi pada jiwa dengan membuatnya menjadi sekuler. Karena itu, mereka menolak peran penting penginjilan dan keselamatan kekal. Malahan, mereka menekankan keselamatan dunia ini pada tindakan sosio-politis belaka.
Di sisi lain, sebagian besar kaum Injili abad ke 20 dan 21 berada di ekstrim yang lain dari dualistis tersebut. Mereka mengembangkan kecenderungan Agustinian mengenai doktrin keselamatan – yang berorientasi pada jiwa dan bersifat pribadi- menjadi urusan yang murni berkaitan dengan dunia lain dan sedikit sekali bersentuhan dengan kehidupan nyata di dunia ini. Karena itu, mereka cenderung menarik diri dari “lapangan public” dan mengembangkan “etika perahu sekoci”. Dunia yang penuh dosa digambarkan sebagai kapal yang sedang tenggelam, maka tak ada gunanya untuk menyelamatkan kapal tersebut selain melompat pada “perahu sekoci” yakni Gereja. Dan biarkanlah dunia tenggelam! (Lovelace 1979, 335-400, khususnya 377).
Dampaknya, sebagian besar dari kita (karena pola pikir Injili) kurang mengembangkan teologi keterlibatan sosial. Padahal, teologi dapat memberikan arahan dan panduan positif untuk bertindak secara etis di dalam dunia yang penuh dosa. Dengan kata lain, kebanyakan orang Kristen memiliki etika yang menekankan kesalehan dan bersifat pribadi. Etika ini menekankan lebih banyak pada “jangan lakukan…”, daripada “lakukan….”. secara luas etika tersebut – tidak berlaku pada setiap kasus – menekankan kesalehan pribadi dibandingkan kesalehan sosial dalam kehidupan bersama.
“Teologi yang Asing dan Aneh”.
Ketidakcukupan spiritual yang ketiga yang kita hadapi adalah orang orang Kristen di dunia non barat mewarisi suatu teologi yang asing. Meskipun sebagian dari kita mampu mengatasi cara pandang dualistis dan telah mengembangkan suatu teologi keterlibatan sosial dengan serius, jawaban yang diberikan masih dibingkai dalam konteks barat yang “asing”. Setidaknya keasingan tersebut terlihat dalam 2 cara:
Pertama, asing karena jawaban jawaban yang dikembangkan dari perspektif barat, baik sadar maupun tidak sadar, tidak bisa lepas dari kepentingan barat. Satu contoh yang baik adalah pertanyaan kengenai undang undang hak cipta dan hak kekayaan intelektual buku atau program computer. Fakta menunjukkan bahwa kekuatan pasar didominasi oleh barat. Kerja sama dilakukan untuk menekan biaya komoditas utama dan bahan bahan mentah tetap rendah, tetapi harga barang barang manufatur cukup tinggi. Tentu kita, akan bertanya “Untuk kepentingan siapa hukum hak cipta disahkan dan mendapat kepastian hukum?”.
Kedua, asing secara budaya karena maksud utama dari jawaban jawaban yang diberikan sering kali gagal mempertimbangkan kekhasan budaya lokal. Sebagai contoh, pemikiran moral Kristen yang dikembangkan di barat cenderung memprioritaskan prinsip prinsip daripada relasi. Hal ini berangkat dari asumsi bahw setiap keputusan dibuat secara pribadi. Namun, dalam budaya Asia, relasi adalah hal yang sangat pokok. Artikel dalam New Straits Times mengatakan bahwa, “Di Cina, guanxi (relasi) adalah segala galanya dalam bisnis”. Lantas, bagaimana etika Kristen dapat diterapkan dengan baik dalam situasi demikian?. Relasi dalam budaya kita dibangun melalui pemberian hadiah. Tetapi, bagaimana kita membuat batas yang jelas antara suap dan pemberian hadiah sebagai penghargaan dan/atau mengukuhkan suatu relasi?. Contoh lainnya adalah ikatan kekeluargaan yang sangat intim dengan masyarakat Asia sehingga seringkali menghasilkan nepotisme. Di sisi lain, jika seorang Kristen gagal “merawat” anggota keluarganya, ia akan dianggap tidak berbakti menurut cara pandang budayanya. Sudah barang tentu jawaban jawaban yang dikembangkan di barat perlu dipikirkan ulang dengan matang sebelum diterapkan pada konteks budaya yang berlainan.
Rekomendasi buku:


David Hall, Calvin Di Ranah Publik: Demokrasi Liberal, Hak Asasi Dan Kebebasan Sipil, Seri Calvin 500, Penerbit Momentum, Februari 2011.



David W.Hall & Peter A. LillBack, Penuntun Ke Dalam Theologi Institutes Calvin, Seri Calvin 500, Penerbit Momentum, Oktober 2009



DAVID W. HALL, WARISAN JOHN CALVIN: PENGARUHNYA DI DUNIA MODERN, Penerbit Momentum



0 Response to "“Uang, Seks Dan Kekuasaan” Part 1-2"

Posting Komentar

Postingan Populer

Label