Etika Dunia Kerja & Globalisasi Part 1

Etika Dunia Kerja & Globalisasi Part 1

Dunia Bisnis Sedang Tersesat
Dunia bisnis saat ini sedang tersesat dalam rimba belantara etika kerja. Apa yang terlintas di benak kita ketika mendengar berita tentang Enron, WorldCom, Adelphia, Global Crossing, ImClone dan Martha Stewart?, mendesaknya kebutuhan akan integritas.
Eksekutif bisnis dinilai buruk berdasarkan jajak pendapat etika dan kejujuran yang dilakukan oleh Organisasi Gallup tahun 2004. Mereka meneliti pendapat masyarakat mengenai moralitas para professional. Misalnya, dari 21 macam profesi, warga Amerika Utara menyebut perawat sebagai profesi paling jujur. Namun para eksekutif bisnis menduduki tempat ke 17, di atas anggota kongres, pengacara, praktisi iklan. Dan yang terakhir, penjual mobil.
Jajak pendapat Gallup di bulan Maret 2005 menunjukkan 50 persen warga Amerika yang disurvei mengaku kurang puas (29%) atau sangat tidak puas (30%) dengan iklim moral dan etika di Amerika Serikat. Jajak pendapat bulan Mei 2005, tentang kepercayaan kepada institusi menunjukkan kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan besar hanya di urutan 14 dan 15. Atau hanya setingkat di atas HMO (Health Maintenance Organization: semacam puskesmas, tapi dokternya bukanlah yang professional dan anggarannya juga tidak menentu). Ini menyedihkan jika mengingat bahwa 90% sekolah bisnis sekarang juga memberi semacam pelatihan etika bisnis.
Jangan berharap dunia bisnis akan segera menemukan etikanya. Pada bulan Oktober, Josephson Institute of ethics, organisasi nirlaba yang menyelenggarakan pelatihan etika bisnis dan pendidikan karakter, merilis rapor mereka di tahun 2006. Institute itu mensurvei 36.122 murid sekolah menengah di Amerika Serikat dan mendapati bahwa secara pribadi:
98 persen percaya karakter yang baik itu penting
94 persen percaya kepercayaan dan kejujuran itu sangat penting dalam bisnis dan tempat kerja
89 persen percaya kebaikan itu jauh lebih penting daripada kekayaan.
Namun, lain halnya dengan pandangan mereka sehubungan dengan praktik di dunia nyata:
59 persen percaya bahwa untuk mencapai kesuksesan, anda perlu melakukan segala macam cara, bahkan menipu
42 persen percaya orang harus berbohong atau menipu untuk mencapai kesuksesan
23 persen percaya orang yang bersedia berbohong, menipu atau mencuri memiliki kemungkinan lebih besar untuk sukses
Mengenai perilaku mereka sendiri:
60 persen pernah berbuat curang pada waktu ujian tahun lalu
28 persen pernah mencuri di toko
39 persen pernah berbohong demi uang
Bila anda pikir remaja remaja ini tidak akan menipu atau mencuri saat mereka bekerja, anda pasti bercanda.
Tempat kerja dapat dilihat sebagai satu belantara etika yang penuh dengan jalan kelak kelok, permukaan licin, dan jurang curam. Para pemimpin menghadapi tugas sulit untuk memimpin para karyawan mereka melalui belantara etika ini. Mereka telah mengajukan beberapa pertanyaan berikut kepada kami:
Bagaimana kami mempekerjakan orang yang tepat dan memecat yang tidak tepat, tanpa terjerat hukum?
Bagaimana kami bisa memberikan kompensasi yang pas guna mempertahankan karyawan yang baik, tapi tidak mengurangi keuntungan?
Apakah kami sudah menyediakan lingkingan yang aman untuk para karyawan kami?
Bagaimana kami dapat menyediakan jaminan kesehatan seperti yang diharapkan karyawan?
Mungkinkah menjadi seorang pemimpin yang adil dan tegas?
Bagaimana mengembangkan dan memelihara keseimbangan antara faktor keuntungan dan kepentingan orang banyak?
Bila kita melihat pertanyaan yang terakhir, sebuah artikel dalam Leadership Advantage menyatakan bahwa keseimbangan antara laba dan kepentingan orang banyak merupakan keseimbangan antara hasil dan cara mendapatkannya.
“Sebuah Analisis mengenai hubungan antara perilaku etis dan kepemimpinan yang efektif mengungkapkan bahwa hal ini adalah masalah memilih, baik hasil maupun cara caranya. Perusahaan harus menghasilkan keuntungan supaya dapat tetap hidup. Organisasi organisasi pelayanan masyarakat harus memuaskan harapan konsumen. Pemerintah harus memenuhi kebutuhan warganya. Hasil dari semua itu adalah kelanggengan hidup perusahaan tersebut”.
Pada saat bersamaan, cara cara yang mereka gunakan untuk mencapai tujuan tersebut menjadi semakin penting. Mengutamakan keuntungan jangka pendek dengan merusak hasil hasil jangka panjang akan mengakibatkan bencana. Kehancuran sebuah perusahaan adalah sebuah tragedy karena hal itu berdampak pada kehidupan banyak keluarga. Banyak keluarga bergantung pada keputusan keputusan bertanggung jawab yang diambil para pemimpin perusahaan. Inti semua keputusan bisnis adalah prinsip prinsip moral dan etis. Kegagalan menjunjung standar yang tinggi akan membawa konsekuensi.
Bagaimana kita dapat memperoleh dan mempertahankan keseimbangan ini ketika harus memilih antara tuntutan bisnis dan kepentingan orang banyak?. Bahkan artikel di atas yang jelas dan dapat dilakukan.
Para karyawan menghadapi kesulitan ketika dipimpin melalui belantara etika dalam pekerjaan dan mengajukan berbagai pertanyaan berikut ini kepada kami:
Bagaimana saya mengembangkan etika kerja yang juga mencakup pandangan yang sehat mengenai kesuksesan?
Bagaimana seharusnya tanggapan saya ketika rekan rekan saya mengorupsi peralatan kantor atau jam kerja?
Bagaimana seharusnya saya mempertahankan keseimbangan antara pekerjaan dan keluarga?
Bagaimana saya dapat bergaul baik dengan rekan kerja yang tingkahnya lebih seperti binatang ketimbang manusia?
Bagaimana saya dapat mentaati kebijakan kebijakan yang tidak saya setujui?
Bagaimana saya dapat menghargai atasan yang tidak pantas saya hargai?
Orang orang yang menangani manajemen perusahaan secara keseluruhan menghadapi belantara etika seperti itu dalam menghadapi pelanggan. Kami telah mendengar pertanyaan pertanyaan semacam ini dari mereka:
Bagaimana kami dapat menjual produk kami dengan cara yang jujur?
Apa yang harus kami lakukan bila kualitas produk kami bukan yang terbaik?
Bagaimana kami harus menetapkan harga yang pantas untuk barang barang kami?
Bagaimana kami harus melayani pelanggan tanpa akhirnya menjadi budak mereka?
Bagaimana kami menangani keluhan pelanggan dengan cara yang adil, baik untuk pelanggan maupun untuk perusahaan?
“Tanggapan Pasar Terhadap Ketersesatan Etika”.
Bagaimana pasar menanggapi berbagai dilemma etisnya?. John Maxwell mengemukakan 3 cara:
1. Mengajarkan perbaikan etika
Ketika murid murid mengalami kesulitan di satu mata pelajaran, sering sekolah akan menyuruh mereka mengikuti kelas perbaikan. Mereka mengulang dasar dasar mata pelajaran tersebut. Maxwell mengutip Joan Ryan, seorang kolumnis yang bekerja untuk Koran San Francisco Chronicle, ketika ia menulis bahwa bisnis sekarang juga melakukan hal yang sama. Berbagai perusahaan mengontrak firma konsultasi etika dan mempekerjakan petugas etika. Para petugas ini membuat dan menyalurkan buku buku panduan tebal yang sering dibaca layaknya peraturan pajak, lengkap dengan cetakan bagus dan berisi banyak hal ambigu. Ryan memperingatkan pembacanya agar tidak terpengaruh oleh etika dunia bisnis gaya baru ini. Ia berkata, “Hal hal yang dilakukan perusahaan itu bukan supaya menjadi etis. Namun soal menghindari hukuman. Di bawah aturan Negara bagian, perusahan perusahaan yang mempunyai program program etika dapat memperoleh pengurangan denda bila didakwa melakukan kesalahan”.
2. Melakukan etika pemberantasan kutu
Metode kedua adalah dengan mendidik ulang pelanggar etika untuk memperbaiki perilaku mereka di masa depan. Konsultan manajemen Frank J Navran menyebut metode ini sebagai etika pemberantasan kutu. Hal ini seperti memberantas kutu seekor anjing di musim panas untuk menyingkirkan semua kutu dan serangga dari tubuhnya. Banyak kutu itu kemudian bersembunyi di rerumputan dan dengan mudah mereka dapat menempel kembali pada tubuh anjing tersebut. Bila lingkungan dalam perusahaan mendukung perilaku tidak etis, upaya pemberantasan kutu itu tidak akan berhasil, dan serangga serangga akan segera datang kembali.
3. Bersandar pada hukum
Beberapa perusahaan membiarkan pemerintah yang menetapkan standar standar etika dan hanya melihat pada apa yang secara teknis legal dalam pengambilan keputusan mereka. Menakutkan, bukan?
Dalam bukunya Complete Guide to ethics management: ethics toolkit for managers, Carter McNamara mengemukan 10 mitos etika bisnis. Mitos yang ke 9 adalah organisasi kita tidak mempunyai masalah hukum, jadi, kita sudah bisa disebut bersikap etis. Ia menulis:
“Orang dapat sering bersikap tidak etis, tapi tanpa melanggar hukum, misalnya, menyembunyikan informasi dari atasan, mengaburkan perhitungan anggaran, selalu mengeluhkan orang lain, dan sebagainya. Namun, pelanggaran hukum sering kali dimulai dari perilaku tidak etis yang dibiarkan tanpa diperhatikan. Fenomena merebus katak cocok untuk menggambarkan situasi ini: bila anda menaruh seekor katak di air yang panas, ia akan segera melompat keluar. Bila anda menaruh seekor katak di air yang dingin dan perlahan lahan memanaskan air itu, akhirnya anda dapat merebus katak itu. Katak itu tidak memperhatikan perubahan berbahaya di lingkungannya”.
Dunia kerja saat ini telah tersesat di belantara etis, dan mereka pun mengetahuinya.
Dalam artikal tentang menjadi orang Kristen di tempat kerja, editor senior Fortune Small Business, Richard McGill Murphy, menulis:
“Para pengusaha Kristen lebih mungkin melihat kantor dan pabrik mereka sebagai perluasan atas kepercayaan mereka. Mereka berusaha keras untuk mengakomodasi penginjilan dengan hukum di tempat kerja menurut pemisahan antara Gereja dan Negara. Dan banyak orang bergumul untuk menyatuka kerasnya tuntutan dunia bisnis dengan pengajaran Kristus. Mereka bertanya kepada diri mereka sendiri. Bolehkah memberhentikan para karyawan dengan tujuan untuk meningkatkan laba, atau sekedar untuk menyelamatkan perusahaan?. Bagaimana anda mengembangkan budaya kantor Kristen tanpa melanggar hak hak para karyawan non Kristen?. Bagaimana bila anda tidak dapat memenangkan kontrak besar jika tidak membelokkan hukum?”.
Orang orang yang berada di tempat kerja setiap hari menghadapi pergumulan untuk mempertahankan etika yang baik. Seberapa baikkah pergumulan itu ditangani?, apakah etika dunia Kristen juga tersesat seperti halnya etika dunia kerja?
Andalah yang menilainya. Suatu survey dilakukan terhadap 300 orang pekerja Kristen, laki laki dan perempuan, mengenai dimensi etika dalam pekerjaan mereka. Beberapa tanggapan yang kurang baik dikutip dia akhir bagian ini. Tetapi mari sekarang kita melihat secara umum hasil survey tersebut:
1. Bagaimana penilaian mereka terhadap etika di perusahaan mereka?, hanya 16 persen yang menilai perusahaan mereka sangat etis, tetapi 58 persen menilai perusahaan mereka kadang kadang etis, dalam hal pengambilan keputusan berdasarkan standar etika yang baik. Namun, ada juga yang bertanya tanya tentang penyebab terjadinya penyelewengan standar tersebut. 26 persen mengatakan bahwa perusahaan mereka sama sekali tidak etis. Salah satu responden mengakui bahwa motto tak tertulis perusahaan tempatnya bekerja adalah, apa yang dapat kita lakukan tanpa ketahuan?.
2. Seberapa sering orang orang Kristen ini menghadapi keputusan dan dilemma etis dalam pekerjaan?
Setiap hari 74 persen
Seminggu sekali 16 persen
Sebulan sekali 5 persen
Sama sekali tidak pernah 5 persen
3. Tuliskan keputusan keputusan atau dilemma dilemma etis yang anda hadapi dalam pekerjaan. Bila anda meragukan gambaran pekerjaan sebagai belantara etis, pertimbangkan beberapa isu yang dihadapi oleh orang orang Kristen ini:
Sikap yang baik di tempat kerja 77 persen
Rekan rekan yang sulit 74 persen
Pelanggan yang sulit 66 persen
Kemasalasan atau rendahnya motivasi kerja 65 persen
Ketidakcocokan dengan atasan 58 persen
Mendukung atasan dan atau perusahaan 51 persen
Tekanan seksual 44 persen
Menyeimbangkan antara pekerjaan dan keluarga 42 persen
Ketidakjujuran 40 persen
Tidak dapat menjadi kesaksian 32 persen
Memperkerjakan karyawan secara pantas 30 persen
Menipu orang lain 30 persen
Memberhentikan karyawan secara pantas 28 persen
Menepati perkataan anda 26 persen
Keuntungan 14 persen
Mencuri dari perusahaan 8 persen
4. Bagaimana anda menangani isu isu etis ini?. Jawabannya mengejutkan. Jika 26 persen menjawab mereka merasa telah menangani isu isu etis dengan baik, 74 persen menjawab sebaliknya. Ingat mereka ini adalah orang orang Kristen yang menghadapi isu isu etis dalam pekerjaannya setiap hari, dan 74 persen tidak menanganinya dengan baik.
5. Ketika menghadapi keputusan etis, kemana anda mencari pertolongan?, kita dapat melihat alasan kegagalan 74 persen orang orang Kristen ini dalam menangani isu isu etis dengan baik ketika kita mencermati sumber nasehat mereka.
Hanya 10 persen yang meminta nasehat dari pendeta mereka. Walaupun mereka menghargai pendeta mereka dalam konsultasi mengenai hal hal rohani, mereka menyadari bahwa banyak pendeta hanya mempunyai sedikit atau bahkan sama sekali tidak punya, pengalaman dalam dunia bisnis. Jadi mereka tidak dapat memberikan penghiburan dan bimbingan dengan hal itu. Ketika seorang pendeta diminta menyampaikan khotbah tentang bisnis, ia berkata, “Tidak, saya sudah berada di Gereja selama 35 tahun. Dan itulah satu satunya dunia yang saya tahu”.
36 persen membuka Alkitab untuk mencari nasehat mengenai urusan bisnis. Persentase yang kecil itu tidak mengherankan, karena banyak orang Kristen tidak banyak tahu tentang perkataan Alkitab mengenai dunia bisnis.
71 persen mengatakan bahwa mereka datang kepada Allah meminta pertolongan. Karena mereka tidak membaca banyak Alkitab, ini pasti berarti mereka berdoa ketika menghadapi masalah. Kita semua tahu bahwa berdoa pada masa sulit sering hanya berarti, “Tuhan tolong saya keluar dari kesulitan ini”. Kita harus berdoa sambil menyelidiki Alkitab, meminta Allah mengungkapkan hikmatNya kepada kita (Yak 1:5).
48 persen mengatakan mereka meminta nasehat dari rekan kerja atau teman. Nasehat itu baik (Ams 15:22), tetapi kita harus memastikan bahwa itu nasehat yang saleh (Mzm 1:1-2).
6 persen mengatakan mereka mencari nasehat tentang etika dari buku bisnis. Sungguh menyedihkan karena seperti yang kita lihat, dunia bisnis dan banyak pengusaha Kristen telah mengalami ketersesatan etika kerja. Kita jarang menemukan buku buku Kristen yang baik mengenai etika bisnis.
6. Apakah anda tertarik pada buku yang menunjukkan kepada anda cara mengambil keputusan etis dalam pekerjaan?. 97 persen mengatakan mereka akan tertarik membaca buku buku semacam itu. Itulah sebabnya kita perlu menulis mengenai hal tersebut. Bahkan orang orang Kristen pun mengalami ketersesatan dalam etika kerja dan membutuhkan sesuatu untuk membimbing mereka.
“Dibutuhkan sebuah kompas”.
Hampir dimana saja di bumi ini, anda dapat memegang kompas di tangan anda dan kompas itu akan selalu menunjukkan arah kutub utara. Bayangkan, di suatu hari yang mendung anda terapung apung di atas perahu di tengah lautan. Sejauh mata memandang anda hanya melihat air, bagaimana anda dapat mengetahui kemana arah anda harus pergi jika tanpa kompas?, sekarang banyangkan anda tersesat di tengah hutan lebat di pegunungan pada hari yang mendung, apa yang harus anda lakukan?, lama sebelum ada satelit GPS dan alat bantu navigasi teknologi tinggi lainnya, bila anda tersesat, melihat kompas adalah cara termudah dan terpasti untuk menemukan jalan pulang.
Kompas juga dibutuhkan untuk memandu kita di belantara dunia kerja etis. Pertimbangkanlah alasan alasan berikut ini. Pertama, tanpa kompas kita akan tersesat, bisnis sekuler maupun Kristen, telah mengalami ketersesatan etis, kita membutuhkan pertolongan untuk menemukan jalan keluar. Maxwell berkata, Kalau dulu keputusan keputusan kita dalah menuruti etika, sekarang etikalah yang menuruti keputusan keputusan. Kita seperti mengacungkan jari kita ke udara untuk merasakan ke arah mana angina bertiup dan kemudian pergi ke arah itu. Para politisi saat ini cenderung lebih diatur oleh jajak pendapat daripada oleh aturan yang benar. Orang orang mengikuti orang banyak untuk mengetahui arah tujuan mereka.
Kedua, kompas menunjukkan arah yang pasti, utara selalu utara dan selatan selalu selatan. Hanya dengan arah yang pasti, kita bisa melangkah dengan yakin. Kepastian yang diberikan Allah melalui FirmanNya jauh lebih pasti daripada magnet kutub utara. Kita harus menemukan norma norma ini ketika kita sedang tersesat.
Ketiga, kompas adalah alat yang menunjukkan arah yang benar kepada kita. Bila anda tersesat dan anda tahu rumah anda ada di arah barat laut, pastikan kompas anda menghadap ke utara, temukan arah yang menuju barat laut dan kemudian berjalanlah ke arah itu. Beberapa orang yang ahli dalam melintasi hutan belantara menyarankan anda melihat kompas setiap 90 meter. Bila anda melakukannya, anda tidak akan pernah tersesat. Untuk menemukan rumah etika kita, kita juga harus memiliki kompas.
Bahkan bisnis sekuler juga mengakui kebutuhan akan kompas atau pedoman ini. McNamara menulis:
“Nilai nilai tak lagi diikuti. Akibatnya, tidak ada pedoman moral yang jelas untuk membimbing para pemimpin menghadapi dilemma rumit mengenai mana yang benar dan mana yang salah. Perhatian kepada etika di tempat kerja akan membuat para pemimpin dan staf menjadi peka terhadap tindakan yang seharusnya mereka ambil. Barangkali dampak yang terpenting dari perhatian pada etika di tempat kerja adalah hal itu akan membantu memberi kepastian ketika para pemimpin dan manajer sedang bergelut dalam masa masa krisis dan kebingungan, mereka akan mendapat satu pedoman moral yang kuat.

Bila ada etika yang mutlak, bagaimana mungkin kita tersesat?. Dalam masyarakat kita dulu, jabat tangan dan ucapan adalah pengikat. Namun, sekarang tidak lagi, kita mengambil keputusan keputusan tidak etis bukan hanya dalam bisnis, melainkan juga dalam seluruh kehidupan kita. Dunia bisnis adalah cerminan jiwa para pelakunya.

0 Response to "Etika Dunia Kerja & Globalisasi Part 1"

Posting Komentar

Postingan Populer

Label