Alergi Obat

Alergi Obat

Kejadian alergi obat umumnya dianggap awam sebagai ketidakcocokan obat. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah  obat tersebut memancing reaksi daya tahan tubuh yang berlebihan/sangat kuat sehingga menimbulkan hal-hal yang tak diinginkan, antara lain batuk yang makin menjadi, bentol di kulit, dan gatal-gatal. Menurut Dr. Mulyono Wirjodiardjo, Sp.A(K), Ph.D., dari RS Internasional Bintaro, setiap anak—baik yang mempunyai bakat alergi maupun tidak—tetap memiliki risiko mengalami alergi obat. Bisa saja terjadi, anak yang awalnya tak bermasalah dengan konsumsi obat A, di lain waktu tubuhnya alergi terhadap obat yang sama. Penyebabnya adalah kondisi tubuh yang sedang tidak fit, sehingga sistem daya tahan tubuhnya bereaksi berlebihan terhadap obat yang dikonsumsi. Dengan kata lain, kemunculan alergi obat yang pertama kali tak bisa diduga sama sekali.
Obat-obatan yang dapat menimbulkan reaksi alergi cukup beragam. Antibiotik, terutama golongan penisilin dan sulfa adalah dua di antaranya. Obat penurun panas dan antikejang pun tercatat dapat memicu alergi. Begitu pula vaksin yang diberikan kepada anak. Selain itu, ada pula obat-obatan yang digunakan dalam pemeriksaan-pemeriksaan, semisal rontgen, yang dapat menimbulkan alergi. Obat yang biasanya disuntikkan ini dapat memancing reaksi cukup berat karena langsung masuk ke dalam pembuluh darah. Alergi obat bisa juga diakibatkan oleh konsumsi lebih dari satu jenis obat dalam satu waktu. Saat anak makan satu jenis obat saja, mungkin tidak timbul masalah. Tetapi begitu dikombinasikan dengan beberapa obat, contohnya antibiotik dengan penurun panas, lalu timbul alergi. Alergi bisa juga terjadi bila mengonsumsi obat medis dengan jenis herbal.
Kejadian alergi obat terkadang tidak disadari oleh orangtua. Kondisi inilah yang pada akhirnya memperburuk keadaan anak. Apalagi untuk jenis antibiotik, obat yang sudah diresepkan  harus dihabiskan. Padahal, jika tidak dihentikan akan memperparah reaksi alergi yang timbul. Reaksi paling ringan, umumnya berupa kemerahan dan gatal di kulit. Kemunculannya bisa seketika atau setelah beberapa kali mengonsumsi obat tersebut. Reaksi dikatakan berat jika sampai menyebabkan sesak napas (anafilaksis) atau syok (anak tampak lemas, tekanan darahnya turun, jantung berdebar keras, hingga tidak sadarkan diri).
Pada buku berobat anak tuliskan, “ALERGI OBAT” dengan huruf yang besar-besar. Saat anak dinyatakan alergi obat tertentu, maka hal itu berlaku seumur hidup. Dokter  akan mengambil jalan paling aman dengan tidak memberikan obat dengan bahan yang sama kepada pasien. Penanganan pertama tentulah segera menghentikan penggunaan obat tersebut meskipun sebelumnya dokter berpesan harus dihabiskan. Setelah itu, bawa anak ke dokter (boleh sama atau  berbeda) beserta obat-obatan yang sedang dikonsumsi anak. Biasanya dokter tahu obat mana yang sering menyebabkan alergi dan menggantinya dengan obat lain yang berkhasiat sama tetapi kandungannya berbeda. Gejala alergi akan dibantu diredakan dengan obat antialergi atau dibiarkan berhenti dengan sendirinya. Bila kondisinya berat, biasanya dokter akan memberi suntikan adrenalin atau antihistamin. Penting diingat, alergi obat tidak bisa ditangani sendiri di rumah. Apalagi bila reaksi yang terjadi cukup berat. Karena itu segera bawa ke dokter untuk penanganannya.

Kenali Berbagai Penyakit Alergi dan Imunologi
Oleh: Prof. DR. Dr. Heru Sundaru, Sp.PD, KAI
Jangan pernah menyepelekan penyakit lingkup alergi dan imunologi. Seluruh tubuh merasa nyeri atau sesak napas. Jangan pula merasa tidak terjadi apa-apa jika tiba-tiba hidung gatal, tersumbat, kulit melepuh serta akhirnya menimbulkan kematian. Itu semua merupa­kan bagian kecil dari gejala penyakit-penyakit alergi dan imunologi.

Jenis penyakit alergi dan imunologi sangat beragam. Asma merupakan kasus yang relatif paling sering, diikuti rinitis alergi, dan urtikaria kronik. Jenis alergi lain yang tak kalah pentingnya adalah reaksi alergi obat. Sementara dalam bidang imunologi, terdapat penyakit autoimun, khususnya Lupus Eritematosis Sistemik (LES).

Sementara dari penyakit imunodefisiensi, salah satunya yang terkenal adalah penyakit Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS). Dalam artikel ini juga akan dikemukakan pentingnya imunisasi pada orang dewasa.

 Penyakit Alergi  
Berikut beberapa penyakit dalam lingkup alergi:
1. Asma Bronkial
Masalah utama asma adalah sering tak terdiagnosis atau pengobatan tak ade­kuat. Pasien mengobati sendiri, pemahaman dan pengetahuan mengenai asma yang kurang serta beberapa mitos atau salah persepsi mengenai asma.

Tak jarang dijumpai rasa sesak disangka penyakit jantung, atau batuk-batuk kronis yang disebabkan penyakit bronkitis atau sukar tidur karena insomnia. Keluhan batuk mengi atau sesak saja bukan monopoli penyakit asma. Beberapa penyakit atau keadaan dapat menyerupai asma, seperti Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) bronkitis kronik dan emfisema; infeksi paru; sinusitis paranasal; tuberkulosis; refluks gastroesofageal dan penyakit jantung seperti gagal jantung. Diagnosis tepat mengarahkan pengobatan yang tepat.

Dalam praktiknya sering dijumpai pasien mengobati dirinya sendiri. Mereka menggunakan obat semprot pelega (inhaler) untuk mengatasi gejala asmanya. Dalam jangka panjang, kondisi ini justru akan memperburuk gejala asma dan akan makin sering mendapat serangan asma.

Hal yang perlu dilakukan adalah dengan memberikan penderita obat anti inflamasi, menghindari faktor pencetus serangan, dan mendapatkan edukasi. Edukasi bertujuan agar pemahaman dan pengetahuan pasien mengenai asma dan penyebabnya menjadi lebih baik. Pengetahuan inilah yang akan mempermudah komunikasi dengan dokter, dan memahami mitos-mitos yang berkembang di masyarakat.

Beberapa mitos yang dijumpai di masyarakat, diantaranya, obat semprot berbahaya untuk jantung, dan hanya dipakai untuk asma yang berat. Pemakaian obat asma secara teratur akan menyebabkan kecanduan (adiksi). Mitos-mitos itu tidak benar.

Apakah asma bisa sembuh? Sejujurnya, tak ada obat yang dapat menyembuhkan asma. Dengan diagnosis dan peng­obatan yang tepat penderita asma dapat menjalani hidup dengan normal (pasien harus mematuhi instruksi, dan kontrol dokter. Ia pun wajib memakai obat pengontrol secara teratur.  Jangan pergi  ke dokter saat asma menyerang saja).        

Mitos lainnya yang juga tidak dapat  dipertanggung­jawab­kan kebenarannya adalah: mengobati asma jika muncul gejala saja. Asma akan hilang dengan sendirinya menjelang dewasa. Penderita asma masih boleh merokok. Stress penyebab asma. Penderita asma tak boleh berolah raga, dan lain-lain.       

Layaknya penyakit hipertensi, atau diabetes tak dapat disembuhkan, manajemen penyakit asma saat ini berdasarkan Kontrol Asma. Panduan manajemen asma internasional berdasarkan Global Initiative for Asthma (GINA) menekan­kan pentingnya kontrol asma. Sekali asma terkontrol, kecil kemungkinan untuk mendapat serangan asma, apalagi sampai memerlukan perawatan rumah sakit. Meskipun pandu­an GINA tersebut telah diedarkan secara luas, kenyataannya, sebagian besar pasien asma belum atau bahkan tidak terkontrol. Oleh karenanya peran dokter yang mengobati asma sangat penting dalam memberikan edukasi kepada pasien. Tak hanya itu. Dokter pun memberikan pengobatan yang profesional sehingga pasien dapat secara optimal menikmati hidupnya.




2. Rinitis Alergi
Rinitis alergi merupakan salah satu bentuk rinitis yang mekanisme­nya secara umum melalui sistem imun,  atau IgE secara khusus. Prevalensinya berkisar antara 10-15% dari masyarakat. Pen­deritanya pun beragam, mulai dari usia anak hingga dewasa. Gejalanya dapat berupa rinorea, hidung gatal, bersin dan hi­dung tersumbat. Terkadang disertai rasa gatal di mata. Akibatnya, mengganggu kualitas hidup penderitanya. Seperti, gangguan tidur, gangguan aktivitas, hingga absen dari sekolah atau pekerjaan. Berdasarkan lama dan seringnya gejala rinitis dapat diklasifikasikan sebagai rinitis alergi intermiten atau persisten. Dikatakan rinitis intermiten bila gejala berlangsung kurang dari empat hari per minggu dan lamanya kurang dari empat minggu. Sedangkan rinitis persisten gejala berlangsung lebih dari empat hari/ minggu dan lamanya lebih dari empat ming­gu. Derajatnya dikatakan sedang atau berat bila gejalanya menggangu kualitas hidup penderitanya. Yang perlu diwas­padai adalah komplikasi terjadinya sinusitis, polip hidung, dan gangguan pendengaran.       

Rinitis alergi merupakan salah satu faktor risiko terjadinya asma. Sering pasien baru datang ke dokter jika telah terjadi komplikasi. Dengan pengobatan yang baik, gejala rinitis dapat terkontrol. Sehingga kualitas hidup penderitanya meningkat kembali dan menjalani hidup layaknya orang normal.

3. Alergi Obat
Seiring pertumbuhan obat-obat baru untuk tujuan diagnosis, terapi, dan pencegahan penyakit maka terjadinya reaksi simpang obat pun meningkat. Reaksi simpang obat didefinisikan sebagai respons yang tidak diinginkan pada pemberian obat dalam dosis terapi, diagnosis, dan profilaksis. Reaksi alergi obat adalah reaksi simpang obat yang mekanismenya melalui reaksi imunologis. Kejadian reaksi alergi obat diperkirakan 6-10% dari reaksi simpang obat. Dalam praktek tidak mudah menentukan sistem imun terlibat. Banyak kejadian yang gejalanya mirip atau serupa dengan gejala alergi, tetapi mekanismenya bukan alergi seperti sesak napas atau angioderma karena aspirin atau anti inflamasi non steroid (AINS), maka diperkenalkan istilah hipersensitivitas obat.       

Alergi obat perlu dipahami oleh tenaga kesehatan, khususnya yang berkaitan dengan pemberian obat. Hal ini terkait dengan masalah mediko-legal, terutama bila kejadiannya dianggap merugikan pasien, sehingga pasien atau keluarganya dapat menuntut dokter, petugas kesehatan lain atau rumah sakit.       

Gejala alergi obat sangat bervariasi. Gejala paling sering adalah gejala kulit, mulai dari eritema, urtikaria, pruritus, angioedema, vesikula, bula hingga kulit melepuh. Gejala lain yang lebih jarang, misalnya sesak nafas, pusing hingga pingsan, seperti pada anafilaksis. Dapat juga terjadi anemia, gangguan fungsi hati atau ginjal.       

Komplikasi alergi obat yang paling berbahaya adalah anafilaksis, disusul dengan Steven Johnson Syndrome, nekrosis epidermal toksik, dan Drug Rash Eosinophilia and Systemic Symptoms (DRESS).       

Klinik Alergi RS Medistra memberikan pela­yan­an penyuluhan bagi pasien untuk menghindari terjadinya reaksi alergi obat di masa mendatang, mengobati reaksi alergi obat yang terjadi, dan uji diagnosis alergi obat.

Tes Kulit. Sebenarnya hanya sedikit jenis obat yang dapat dipakai untuk tes kulit. Hal ini dikarena­kan obat setelah masuk ke dalam tubuh akan meng­alami metabolisme. Hasil metabolisme atau metabolit umumnya belum diketahui kecuali penisilin. Selanjutnya metabolit akan berikatan de­ngan protein tubuh, untuk kemudian menimbulkan reaksi alergi.

Tes kulit obat-obat lainnya belum pernah divalidasi, sehingga hasilnya kurang dapat dipercaya. Sebagai contoh, hasil tes kulit terhadap cefalosporin negatif tetapi sewaktu diberikan, pasien mengalami anafilaksis. Ada dua jenis tes kulit untuk alergi obat, yaitu tes tusuk, dan intra kutan untuk reaksi alergi obat fase cepat dan tes tempel untuk reaksi alergi obat fase lambat. Tetapi kembali lagi kedua tes di atas tidak dapat dipercaya sepenuhnya. 

Tes Provokasi Obat. Tes ini merupakan baku emas untuk menentukan adanya reaksi alergi obat. Karena dapat menyebabkan reaksi yang serius, tes ini hanya boleh dilakukan oleh dokter yang ahli dalam bidang ini dan dilakukan di rumah sakit.

Tes Laboratorium. Sampai sejauh ini baru dalam tahap pe­nelitian dan hanya terhadap obat yang terbatas. Seperti halnya tes lain, tes invitro ini lebih spesifik tetapi tidak sensitif. Sehingga banyak negatif palsu. Yang paling penting dalam reaksi alergi obat adalah pencegahan. Jadi dalam memberikan obat indikasi pemberian harus tepat, kemudian dipastikan tidak pernah mengalami reaksi alergi obat yang akan diberikan. Selanjutnya selalu waspada dan siap bertindak bila terjadi alergi obat.

 4. Urtikaria dan Angioderma
Urtikaria ditandai kelainan kulit berupa bentol, kemerahan, dan ga­tal. Dikatakan urtikaria akut jika gejala berlangsung kurang dari enam minggu dan sebabnya jelas. Sedangkan urtikaria kronik jika gejala berlangsung lebih dari enam minggu, bahkan bisa sampai 20 tahun. Umumnya pasien yang datang ke poli alergi adalah urtikaria kronik.       

Umumnya pasien telah lama berobat ke berbagai dokter baik umum maupun spesialis, sehingga pasien merasa jengkel karena urtikarianya tidak sembuh-sembuh. Sebagian besar urtikaria kronik penyebabnya tidak diketahui sehingga pengobatan bisa berlangsung lama. Bila sebabnya diketahui, mungkin gejalanya dapat dihilangkan. Angioderma menyerupai urtikaria, tetapi mengenai jaringan kulit yang lebih dalam. Gejala sering tidak gatal tetapi te­rasa sakit. Umumnya mengenai mukosa mata, bibir atau kemaluan. Bila mengenai daerah trakea atau bronkus, seperti pada reaksi anafilaksis dapat membahayakan nyawa pasien.

5. Lupus Eritematosus Sistemik (LES)
LES merupakan salah satu penyakit autoimun. Karena bersifat sistemik, auto-antibodi menyerang beberapa organ, baik secara bersamaan atau berurutan. Radang sendi merupakan gejala yang tersering, tetapi demam yang berkepanjangan juga merupakan salah satu gejala lupus. Gejala seperti kemerahan di wajah, sariawan, anemia, lekopeni atau trambositopeni merupakan petunjuk ke arah LES. Proteinuria dan hematuria sampai kepada efusi pleura atau perikard tidak jarang dijumpai. Kelainan neorologi atau psikitrik dapat disebabkan LES. Makin dini diagnosis, dan makin cepat diobati, diharapkan komplikasi yang serius dapat dihindari.

6. Penyakit Imunodefisiensi
Penyakit imunodefisiensi bisa didapat sejak lahir, atau setelah dewasa. Berbagai penyakit atau keadaan seperti pemakaian obat dapat menyebabkan imunodefisiensi. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan salah satu penyebab imunodefisiensi yang dikenal dengan AIDS. Umumnya pasien datang dalam keadaan sudah lanjut karena infeksi oportunistik, padahal semakin awal penyakit diketahui dan diobati semakin baik prognosisnya. Penyakit-penyakit kronis lainnya seperti diabetes mellitus, gagal ginjal kronis, sirosis hati, dan PPOK dapat menurunkan daya tahan tubuh. Oleh karena itu, meningkatkan daya tahan tubuh sangat diperlukan, agar terhindar dari bahaya penyakit infeksi.

Imunisasi Dewasa
Imunisasi merupakan salah satu cara pencegahan penyakit yang paling efektif, contohnya penyakit cacar (variola) telah lama hilang dari muka bumi, sedangkan kasus-kasus polio dalam beberapa tahun terakhir tidak pernah dijumpai lagi. Program imunisasi selama ini diwajibkan untuk anak, dan hasilnya sangat memuaskan.        

Pertanyaan mengapa orang dewasa memerlukan vak­sinasi, jawabannya adalah imunisasi dapat menurunkan kejadian sakit, perawatan rumah sakit atau meninggal dunia karena penyakit-penyakit infeksi. Pemberian vaksin influenza pada orang dewasa usia < 65 tahun menurunkan insidensi influenza se­besar 70-90%, pada orang usia lanjut menyebabkan penurunan insidensi kasus influenza 30-40%, perawatan rumah sakit 50-60% dan penurunan angka kematian sebesar 70-100%. Vaksin pneumokok efektivitasnya sekitar 60-64%, hepatitis B 80-95%, dan MMR 90-95%.      


Keberhasilan imunisasi menyebabkan biaya pengobatan dan perawatan rumah sakit menjadi lebih hemat. Peranan imunisasi  sama pentingnya dengan olahraga dan diet dalam menjaga ke­sehatan tetapi sering dilupakan. Jenis vaksin yang di rekomendasikan orang dewasa antara lain influenza, pneumokok (infeksi paru), varicella, human papiloma virus (untuk mencegah kanker leher rahim), hepatitis A & B, dan Measles, Mumps and Rubella (MMR), serta tetanus, difteri & pertusis (TDaP).       

0 Response to "Alergi Obat"

Posting Komentar

Postingan Populer

Label