Memahami Arti “Waktu” Dalam Kehidupan Kita, Complete Edition

Memahami Arti “Waktu” Dalam Kehidupan Kita, Complete Edition

Ibu saya dulu sering berkata kepada saya saat saya menjelang dewasa, “mengapa terburu buru?”.
Mungkin saya pikir, saya tidak memiliki cukup waktu, atau tidak ada waktu sama sekali, atau waktu berlari begitu cepat. Agustinus dari Hippo konon berkata, “Waktu tidak pernah beristirahat”.
Dalam kontras yang mengagumkan, Pengkhotbah berkata, “Untuk segala sesuatu ada waktunya” (3:1-11), meskipin ungkapan ini tidak tepat sama dengan “ada waktu untuk segala sesuatu”, kita perlu mempertimbangkan hal ini dengan cermat karena kita yang hidup di belahan dunia Utara, Barat dan sebagian besar Asia terbiasa melihat waktu sebagai suatu sumber daya untuk dikelola, untuk memeras keluar segala sesuatu dari dalamnya sebisa mungkin, seperti tetesan terakhir dari jeruk yang diperas pada seekor ikan. Di belahan Timur dan Selatan, kebudayaannya lebih berorientasi pada peristiwa daripada masa depan, dengan peristiwa peristiwa seperti pernikahan dan pemakaman yang berlangsung dalam waktu yang hanya diperkirakan dan berakhir hingga makna peristiwa itu benar benar dialami.
Sangat menarik untuk membahas tentang teman waktu secara deduktif – mengambil tema tema utama refleksi teologis dan meramalkan kemungkinan: Allah menciptakan waktu, waktu adalah bagian dari tatanan penciptaan. Ia menciptakan waktu yang baik, jelas bahwa penyebutan kekudusan pertama dalam Alkitab adalah untuk waktu kudus. “Lalu Allah membekati hari ketujuh itu dan menguduskannya…” (Kej 2:3). Waktu, bersama sama dengan ciptaan lain, telah dipercayakan kepada manusia sebagai mitra Allah. Manusia menjadi penatalayan waktuk, bukan pemilik waktu. Waktu, bersama dengan yang lain, telah dijungkirbalikkan oleh kejatuhan manusia. Oleh dosa. Waktu menjadi sesuatu yang mengalami kutukan. Meskipun kita mengalami penebusan yang penting dalam kehidupan ini melalui karya Kristus, hingga dunia ini ditransformasikan menjadi langit baru dan bumi baru, pengalaman kita akan waktu tetap ambigu.
Jika kita menafsir Perjanjian Baru, kita bisa menggali perbedaan antara dua kata yang menunjuk “waktu” dalam bahasa Yunani: (1) Chronos atau waktu yang sudah pasti, yang dapat dikelola, dipotong, dihitung, dan diproses, tetapi tidak bisa ditambah. (2) kairos, sebuah kata yang terkadang berarti waktu yang sudah pasti, tetapi dalam hampir sebagian besar konteks berarti kesempatan, waktu yang berdimensi kekekalan, atau waktu yang mengandung panggilan bagi penghakiman atau keselamatan.
Ini merupakan waktu “yang tepat pada waktunya”, seperti ketika Paulus dalam Efesus 5:16 dan Kolose 4:5 berbicara tentang “pergunakanlah waktu yang ada”. Ayat ayat terakhir ini secara menyedihkan telah dipelintir oleh orang orang Kristen yang menjadi konsultan pengelolaan waktu sehingga artinya menjadi “peraslah sebisa mungkin seluruh sumber daya terbatas yang anda miliki, daripada menangkap ledakan Kerajaan Allah ketika saat itu tiba”.
Pendekatan deduktif ini mungkin bernilai, tetapi bukan itu jalan yang ditempuh oleh sang Guru. Ia menguraikan secara rinci tentang pengalaman, bukan teologi. Di dalam pengalaman waktu ia menemukan petunjuk yang mengarah kepada Allah. Dengan perkataan lain, ia adalah seorang teolog induktif, sangat mirip dengan Luther, yang mengatakan waktu ditentukan oleh kehidupan dan kematian. Hanya menjadi orang yang dihukum dan diselamatkan kita menjadi teolog, bukan melalui nalar dan spekulasi.
“Mengalami Waktu”.
Pertama sang Guru berkata bahwa kita mengalami waktu dalam peralihan musim. Di sini ia membuat daftar berisi serangkaian kondisi yang berlawanan: waktu untuk lahir, menanam, menyembuhkan, membangun, tertawa, menari, mengumpulkan batu, memeluk, mencari, menyimpan, menjahit, berbicara, mengasihi, dan berdamai. Ya, inilah yang kita pahami, bahwa kehidupan mempunyai musimnya. Tetapi bagaimana dengan waktu untuk meninggal, mencabut apa yang ditanam. Membunuh, merombak, menangis, meratap, membuang batu, menahan untuk memeluk, membiarkan rugi, membuang, merobek, berdiam diri, membenci dan perang (3:1-8)?. Tetapi, inilah cara kita mengalami kehidupan – secara musiman. Bahkan Negara yang cinta damai sekalipun akan menghadapi kenyataan perang dan seorang kekasih yang sangat mencintai pada waktunya akan menahan diri, sebuah bisnis akan tutup dan seorang humoris akan menangis, dan kita semua pada waktunya akan mati.
Kedua, ini bukanlah suatu serangkaian tiada akhir, atau pasang surut yang tidak berkaitan dan tak bermakna. Ibaratnya, kita hanya sebuah bangkai kapal yang tenggelam dengan berbagai muatannya yang terapung apung saat air pasang. Waktu bukanlah bagian dari “beban” yang telah ditimpakan Allah pada manusia, seperti melonggarkan dan mengencangkan senar biola yang akan menghasilkan bunyi yang indah. Sang Guru berkata pada pasal 3:11, “Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya”. Pada titik inilah sang Guru tiba makin dekat dengan rujukan rujukan Perjanjuan Baru tentang kairos – atau waktu yang bermakna.
Tetapi bukan hanya dalam arti kita memiliki sebuah momen yang strategis dimana kita dapat melakukan sesuatu. Ia mengatakan bahwa ada sesuatu yang indah yang sedang berlangsung, ada waktu yang indah, sebagaimana ada seni yang indah, keindahan fisik, keindahan rumus matematika atau program computer. Ada sesuatu yang hebat dan estetis, yang membuat kita berseru, “Aha” atau “Oh dan Ah” karena kesedihan, ada sesuatu yang “kudus” yang hadir sekarang.
Tetapi petunjuk tentang waktu yang indah sayangnya mengarah kepada keadaan sebaliknya, kita membiarkan waktu kita berlalu begitu saja tanpa melihat keindahannya, atau menjadi orang yang berorientasi masa depan, mengurus banyak hal yang akan anda lakukan selanjutnya, dalam bisnis dan rencana pribadi. Padahal anda belum sungguh sungguh berada dalam waktu itu, inilah yang telah saya gumuli secara pribadi.
Ketiga, sang Guru mengatakan bahwa waktu itu seperti seorang Penginjil yang membawa kita melampaui waktu sekarang untuk mengakui bahwa kita sedang dicari oleh Allah sendiri. Ayat 11 selanjutnya selanjutnya mengatakan, “Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka, tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir”.
“Kekekalan” adalah terjemahan kasar dari sebuah kata dalam konteks ini mengesankan sesuatu yang dengan dengan Surga, zaman yang lebih lama daripada abad ini, atau Kerajaan Allah.
Terdapat sebuah petunjuk dalam pengalaman kita akan waktu, sebuah petunjuk kepada Allah, tetapi tidak kentara. Jacques Ellul mengungkapkannya sebagai berikut:
“Kita tidak pernah puas dengna apa yang kita raih, kita mengulanginya lagi dan lagi, karena menanam tidak memuaskan, kita mencabut apa yang ditanam, karena merobek kegagalan memberi kepuasan, kita harus menjahit, dan sebagainya. Keaktifan kita yang tidak pernah puas bersumber pada hasrat kita untuk sesuatu yang lain, sesuatu yang pada akhirnya akan terbukti tidak berubah. Segala sesuatu yang kita lepaskan begitu saja, kita terus menerus mengharapkan kasih yang kekal, kita ingin hidup kita bermakna”.
Namun kita tidak dapat menduga apa yang telah dilakukan Allah sejak awal hingga akhir. Seperti kata Derek Kidner, “Kita seperti orang yang mengalami rabun ayam, melangkah setapak demi setapak sepanjang hamparan permadani yang luas atau lukisan dinding dalam usaha meraihnya. Kita melihat cukup banyak untuk dapat mengenali kualitasnya, tetapi rencana yang lebih besar telah menutup mata kita, karena kita tidak pernah mundur cukup jauh untuk memandangnya seperti yang dilakukan Allah Sang Pencipta, memandangnya secara utuh dan menyeluruh, sejak awal hingga akhir”.
Jadi, apa maknanya ini?
“Spiritualitas Yang Menghargai Waktu”.
Pertama, waktu adalah karunia dari Allah.
Bukan sekedar suatu sumber daya untuk dikelola dan dimanipulasi – sesuatu yang menjadi musuh kita, lawan kita, yang selalu membuat kita frustasi, selalu menyangkal semua yang kita butuhkan. Jika waktu adalah karunia Allah, maka kita harus menghormati keinginan Sang Pemberi dalam cara kita menggunakannya.
Kedua, Kita adalah para penatalayan, diberi kepercayaan atas waktu tetapi tidak untuk memilikinyam, dan kita bertanggung jawab kepada Allah atas penatalayanan kita.
Mampukah kita melihat dengan cermat kesempatan kesempatan yang diberikan kepada kita, keindahan dalam waktu, musim, atau pekerjaan yang saat ini sedang kita lakukan atau tidak melakukan apa apa, yang sebenarnya sedang melakukan sesuatu dan bukan sekedar mengalami kekosongan?, tentu saja ada tempat bagi perencanaan waktu, untuk melihat dengan jelas aspek aspek penting dari hal hal yang mendesak.
Stephen Covey, membantu dengan memperlihatkan bagaimana kebanyakan orang menggeeluti hal hal yang mendesak dan bukan yang penting. Orang orang itu yang disebutnya “orang orang efektif” bergerak dari hal hal yang mendesak tetapi tidak penting ke pemakaian waktu untuk hal hal yang penting.
Jacques Ellul mengamati bahwa jika kita ingin melihat keindahan sesuatu – waktu, musim, pekerjaan, atau pengalaman – “kita dipanggil untuk memahaminya daripada hanya sekedar melakukannya setiap waktu kalau kita memilihnya, hanya karena kita memilih untuk melakukannya”.
John Wesley, pernah mengatakan, “meskipun saya selalu bergerak cepat, saya tidak pernah terburu buru, karena saya tidak pernah melakukan pekerjaan lebih banyak daripada yang dapat saya selesaikan dengan ketenangan jiwa”.
Ketiga, kita mempunyai cukup waktu.
Kita punya cukup waktu untuk melakukan semua hal yang diinginkan oleh Allah tanpa perlu memeras setiap tetesan terakhir dari sebuah jeruk, tanpa hidup terburu buru, tanpa dikendalikan oleh jam. Robert Schuller mengubah kesibukan menjadi suatu filosofi kehidupan, “Saya memulai pekerjaan seumur hidup saya berdasarkan asumsi bahwa saya mungkin tidak hidup cukup lama untuk dapat menyelesaikan segala sesuatu yang ingin saya selesaikan, jika saya ingin melakukan sesuatu yang bermanfaat dalam hidup saya, saya harus bergegas, saya selalu bergegas sejak saat itu”.
Michael Quoist menuangkan ide ini dengan tajam dalam sebuah doa, …
“Tuhan, Aku punya waktu, Aku punya banyak waktu, seluruh waktu yang telah Engkau berikan kepadaku, tahun demi tahun di sepanjang kehidupanku, hari demi hari di sepanjang tahun tahun kehidupanku, jam demi jam di sepanjang hari hariku, waktu itu milikku. Milikku yang harus diisi, dengan hening, dengan tenang, tetapi mengisi waktu dengan sempurna, hingga melimpah, untuk dipersembahkan kepadaMu, kendati serasa air tawae, Engkau menjadikannya anggur yang nikmat seperti yang pernah Engkau lakukan di Kana Galilela”.
Jadi waktu menunjuk ke arah diri kita sendiri dan kepada Allah. Kalau kita beralih pada pokok permasalahan berikutnya, kita dibayang bayangi oleh ungkapan yang lazim dan keliru bahwa “waktu adalah uang”.


By Paul Stevens

0 Response to "Memahami Arti “Waktu” Dalam Kehidupan Kita, Complete Edition"

Posting Komentar

Postingan Populer

Label