Memahami Kejahatan Korupsi Part 2

Memahami Kejahatan Korupsi Part 2

“Tindak pidana korupsi di Indonesia”
Istilah korupsi berasal dari perkataan corruption, yang berarti kerusakan. Misalnya dipakai dalam kalimat: Naskah kuno neara kertagama ada yang corrupt (rusak). Di samping itu, perkataan korup-si dipakai pula untuk menunjuk keadaan atau perbuatan yang buruk. Korupsi banyak disangkut pautkan dengan ketidakjujuran seseorang dalam bidang keuangan. Perkataan korupsi semula bersifat umum dan baru menjadi istilah hukum untuk pertama kali dalam peraturan penguasa militer No. PRT/PM/06/1957 tentang pemberantasan korupsi. Dalam konsideran peraturan ini, dikatakan antara lain, “bahwa berhubung tidak adanya kelancaran dalam usaha usaha memberantas perbuatan perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian Negara yang oleh khalayak ramai dinamakan korupsi, perlu segera menetapkan suatu tata kerja untuk dapat menerobos kemacetan dalam usaha memberantas korupsi dan seterusnya…..”.
Di dalam peraturan ini, korupsi diberi arti yang luas, yaitu, “perbuatan perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian Negara”. Dalam ketentuannya sendiri diberi definisi apakah korupsi itu, serta sekaligus definisi itu merupakan isi dari apa yang dinamakan tindak pidana korupsi. Menarik sekali apa yang disebut korupsi dalam peraturan ini, yakni:
1. tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun juga, baik untuk kepentingan diri sendiri, untuk kepentingan orang lain atau untuk kepentingan suatu badan yang langsung dan tidak langsung menyebabkan kerugian atau perekonomian Negara
2. tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah ataupun dari suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan Negara atau daerah, yang dengan mempergunakan kesempatan atau kewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh jabatan, langsung atau tidak langsung, membawa keuntungan keuangan atau meteriil lainnya.
Perumusan yang luas tersebut memang memperluas dan memudahkan para petugas hukum untuk mengenakan pidana kepada orang orang yang merugikan keuangan atau perekonomian Negara, ialah kepada orang orang yang melakukan korupsi. Itikad dari pembuatan peraturan pada waktu itu tampaknya hendak menciptakan clean government. Namun setiap orang mengetahui bahwa suatu clean government, dimana tidak terdapat atau setidak tidaknya tidak banyak terjadi perbuatan korupsi, tidak bisa diwujudkan hanya dengan peraturan hukum, meskipun itu hukum pidana dengan sanksi yang keras. Jangkauan hukum pidana adalah terbatas. Usaha pemberantasan secara tidak langsung dapat dilakukan dengan tindakan tindakan di lapangan politik, ekonomi, pendidikan dan sebagainya.
“Ketentuan Dalam KUHP”
Penanggulangan perbuatan korupsi yang menyangkut orang orang yang mempunyai kekuasaan kenegaraan dalam tata hukum Hindia Belanda sudah ada, yaitu dalam Wetboek van Strafrecht, di sampaing adanya peraturan peraturan dalam bidang administrasi atau keuangan. Dalam Wetboek can strafrecht terdapat ketentuan yang mengancam dengan pidana orang orang yang melakukan delik jabatan, pada khususnya delik delik yang dilakukan oleh pejabat yang bersangkut paut dengan korupsi, ialah:
1. Penggelapan pasal 372 KUHP
2. pemalsuan pasal 264 KUHP
3. menerima suap pasal 209 KUHP
4. menguntungkan diri sendiri secara tidak sah, pasal 378 KUHP
Menarik untuk mengetahui apa saja yang dilarang untuk dilakukan oleh seorang pejabat yang merupakan perbuatan korupsi. Di bawah ini disebutkan beberapa contoh:
1. Soal menerima suap
Adalah wajar kalau seorang pejabat, yang menerima sesuatu pemberian karena atau untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya, dipidana. Akan tetapi dalam KUHP ada ketentuan, ialah di pasal 418, yang mengancam pidana seorang pejabat atau pegawai negeri yang menerima pemberian atau kesanggupan sedang diketahui olehnya atau menurut kewajaran seharusnya dapat diduga, bahwa hal tersebut diberikan kepadanya karena sesuatu kekuasaan atau wewenang, yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut perkiraan orang yang mengadakan pemberian atau kesanggupan itu melekat kepada jabatannya. Ketentuan ini tertuju kepada apa yang dinamakan retaur commissie yang diberikan oleh penjual kepada pembeli. Pembeli tentunya harus mempunyai kualitas sebagai pejabat atau pegawai negeri.
Jadi apabila seorang pegawai membeli sesuatu untuk jawatannya dan mendapat potongan padahal harga di dalam kuitansi tetap seperti semula, sedang potongan itu untuk kepentingan pegawai itu sendiri, maka ia dapat dikenakan ketentuan tersebut. Sama halnya dengan seorang pejabat yang melakukan kewajibannya secara normal menerima “balas jasa” dari seorang yang merasa “ditolong” oleh pejabat itu.
Bagaimanakah dengan pemberian pemberian pada hari lebaran, tahun baru, hari ulang tahun?
Kalau dipandang secara sempit maka dalam hal tersebut unsur unsur dari delik yang diuraikan dalam hal tersebut adalah unsur unsur dari delik yang diuraikan dalam pasal 418 KUHP telah terpenuhi. Hanya saja dalam hal hal terakhir ini, apabila tidak berlebih lebihan, artinya tidak melampaui batas kewajaran, maka “bisa diterima”. Perkataan “bisa diterima” di sini tergantung dari pandangan masyarakat terhadapnya. Jika kalau masyarakat memang memandang hal tersebut wajar, maka sifat melawan hukum dari perbuatan jabatan itu tidak ada, meskipun perbuatannya memenuhi rumusan undang undang.
2. Soal penyalahgunaan kekuasaan.
Dengan memperhatikan ketentuan ketentuan pada pasal 423, 425, dan 435 KUHP, di bawah ini disebutkan beberapa contoh yang merupakan tindakan pidana:
a. perbuatan orang apabila ia pejabat yang mengadakan pungutan pungutan di pos pos liar
b. seorang pegawai kas negeri yang memotong begitu saja uang rapel dari para pensiunan
c. seorang pemimpin perguruan tinggi, misalnya rektor sebuah universitas ternama, yang mendirikan perusahaan dan kemudian perusahaan tersebut memborong pembuatan gedung universitas tersebut.
“Unsur unsur tindak pidana korupsi”.
Di bawah ini unsur unsur tindak pidana korupsi:
1. melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain atau badan.
“perbuatan memperkaya: artinya berbuat apa saja, misalnya: mengambil, memindah bukukan, menandatangani kontrak dan sebagainya, sehingga si pembuat bertambah kekayaannya.
2. perbuatan itu bersifat melawan hukum. “melawan hukum” di sini diartikan secara formil dan materiil. Hal ini telah dibicarakan di depan. Unsur ini perlu dibuktikan karena tercantum secara tegas dalam rumus delik.
3. perbuatan itu secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan Negara dan atau perekonomian Negara, atau patut disangka oleh si pembuat bahwa merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
Bahwa perbuatannya secara langsung dan tidak langsung merugikan keuangan Negara dan atau perekonomian Negara harus dibuktikan adanya secara objektif. Dalam hal ini hakim kalau perlu dapat mendengar pendapat dari saksi ahli lebih dari satu orang untuk mengetahui kapan ada keadaan yang merugikan itu.
Dari perumusanan ini tampak bahwa delik ini merupakan delik materiil. Adanya alternative kedua dalam perumusan unsur ketiga ini menimbulkan pertanyaan apa yang dimaksud oleh pembentuk undang undang. Di sini ditetapkan bahwa hubungan batin dari pembuat dengan akibat perbuatannya berupa “mengetahui atau patut menyangka”. Patut menyangka tidak diartikan secara psikologis melainkan secara normative, yaitu “seharusnya ia menyangka”.
Bisa dipersoalkan, apakah betul betul harus ada kerugian bagi keuangan atau perekonomian Negara?, dalam rumus itu tidak disebut “dapat” merugikan keuangan Negara dan perekonomian Negara. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa akibat tersebut harus ada. Kalau hal ini memang yang dimaksud oleh pembentukan undang undang maka bagian pertama (alternative pertama) dalam unsur ketiga itu tidak perlu ada.
Jadi, unsur ketiga itu cukup berbunyi, “yang diketahui atau patut disangka olehya bahwa perbuatan tersebut secara langsung atau tidak langsung merugikan kerugian Negara atau perekonomian Negara”. Sebaliknya, kalau yang dimaksud bahwa akibat itu tidak perlu dibuktikan adanya, maka perbuatan “merugikan” harus diubah menjadi “dapat merugikan”. Perkataan “badan” tidak hanya berarti badan swasta, misalnya PT, yayasan, koperasi dan sebagainya, tetapi juga badan pemerintahan, misalnya Badan Usaha Milik Negara.
By:
Subagio Tjahjono, SE, CFE, CIA, CISA [Big Four-KAP]
Josua Tarigan, SE, MBA, CFP, CMA, CSRS [Akuntansi Bisnis, UK Petra]
Dr.H. Budi Untung, SH, CN, MM [Praktisi Hukum]
Jap Efendi, PhD [The University Of Texas at Arlington]

Yohana Hardjanti, SE, CMA, Ak [Independent Consultant]

0 Response to "Memahami Kejahatan Korupsi Part 2"

Posting Komentar

Postingan Populer

Label