Cara Pandang Baru Terhadap “Kesuksesan”, Complete Edition

Cara Pandang Baru Terhadap “Kesuksesan”, Complete Edition

Hampir setiap bisnis dievaluasi dengan pertanyaan: Apakah ini suatu kesuksesan?. Para pemegang saham dalam perusahaan perusahaan dagang terbuka tentu tidak ingin investasinya gagal, kecuali bisa mendapat keuntungan dari pajak dengannya. Tetapi, bagaimana dengan para pebisnis?, Apakah mereka juga harus sukses?, Kesuksesan seperti apa?.
Kesuksesan adalah sebuah paradox, dan ini adalah alasannya:
1. Karena orang yang benar benar sukses bisa gagal. Mitos Raja Midas yang mampu mengubah segala sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Dengan sentuhannya ia bahkan mengubah putrinya dan makanannya menjadi logam, sehingga akhirnya mati kelaparan.
2. Karena kegagalan bisa menjadi kesuksesan. Charles Colson dulu adalah seorang yang sukses dalam karier politiknya, tetapi semua itu hancur karena skandal Presiden Nixon. Dalam kegagalan, setelah dipenjara atas kejahatannya, ia meraih sukses dalam menjalankan pelayanan di penjara.
3. Karena kesuksesan sejati itu sesuatu yang misterius. Kesuksesan ini tidak dapat dikendalikan, ditemukan dan direncanakan.
4. Karena kesuksesan yang dimiliki bisa hilang. Nasehat untuk mengejar kesuksesan selagi masih muda supaya kehidupan selanjutnya bisa sejahtera sama sekali tidak bermanfaat. Itu sama saja dengan mengatakan, “Allah punya rencana yang luar biasa bagi paruh kedua hidup saya!”. Jawaban Yesus kepada seorang muda yang kaya bukanlah “pergi dan berbuatlah sesuatu yang berarti dengan hidupmu”, melainkan “ikutlah Aku”.
5. Karena pengejaran kesuksesan adalah jalan langsung khusus menuju kegagalan sebenarnya. Dalam perjalanan menuju sukses, waspadalah terhadap tujuan. Gejala seseorang yang telah mencapai kesuksesan adalah hilangnya kemampuan untuk bertanya alias mati ketika meraihnya.
Dengan menggarap berbagai tema dalam bukunya yang sukses, Stephen Covey, mencatat bagaimana sebagian orang memberi penekanan pada etika personalitas: teknik teknik dan citra public. Ia melihatnya sebagai suatu pandangan yang dominan.
Menurut Covey, pendekatan terbaik adalah pendekatan yang berbicara tentang karakter. “Terdapat prinsip prinsip dasar dalam menjalani kehidupan yang efektif dan orang hanya dapat mengalami kesuksesan sejati dan merasakan kebahagiaan yang bertahan lama ketika mereka mempelajari dan mengintegrasikan prinsip prinsip ini menjadi karakter dasar mereka” – integritas, kerendahan hati, keberanian, keadilan, kesabaran, kerajinan, kesederhanaan, kesopanan dan kaidah emas – sebagai prinsip prinsip dasar menjalani hidup yang efektif.
“Mendefinisikan Kesuksesan”.
Jacques Ellul memberikan sebuah refleksi Kristiani yang mendalam mengenai kesuksesan dalam “Essay On Inutility”. Ia mengatakan bahwa dalam hubungan dengan penggenapan Kristus, kita tidak bisa menyombongkan diri sendiri. Ia mengatakan,
“Kita telah belajar bahwa di dalam Yesus Kristus keselamatan dianugerahkan kepada kita, bahwa Allah mengasihi kita sebelum kita melakukan apa apa, bahwa semua adalah karunia, karunia yang melimpah dan Cuma Cuma. Kehidupan dan keselamatan, kebangkitan dan iman, kemuliaan dan kebajikan, semua adalah anugerah, semuanya telah diberikan, semua sudah diselesaikan, dan bahkan pekerjaan pekerjaan baik yang kita upayakan dengan susah payah agar terlaksana, telah dipersiapkan sebelumnya bahwa kita harus melakukanya. Semuanya sudah dirampungkan. Apa manfaat pekerjaan pekerjaan ini?. Toh, pekerjaan pekerjaan itu masih dituntut dari kita, semua pekerjaan itu perintah Allah, termasuk pelayanan pelayanan yang tidak bermanfaat. Jika kita bersedia menjadi pelayan pelayan yang tidak berguna dan tidak menguntungkan, meskipun sibuk dan aktif pada saat yang bersamaan, maka pekerjaan kita sebenarnya dapat membawa manfaat bagi kemuliaan Allah yang mengasihi kita terlebih dahulu. Allah mengasihi kita karena Ia adalah Kasih dan tidak meminta balasan”.
“Refleksi Sang Guru Tentang Kesuksesan”.
Sesungguhnya, sang Guru adalah seorang pemimpin berjiwa bisnis.
Pengkhotbah 2:4-11,
2:4 Aku melakukan pekerjaan-pekerjaan besar, mendirikan bagiku rumah-rumah, menanami bagiku kebun-kebun anggur; 2:5 aku mengusahakan bagiku kebun-kebun dan taman-taman, dan menanaminya dengan rupa-rupa pohon buah-buahan; 2:6 aku menggali bagiku kolam-kolam untuk mengairi dari situ tanaman pohon-pohon muda. 2:7 Aku membeli budak-budak laki-laki dan perempuan, dan ada budak-budak yang lahir di rumahku; aku mempunyai juga banyak sapi dan kambing domba melebihi siapapun yang pernah hidup di Yerusalem sebelum aku. 2:8 Aku mengumpulkan bagiku juga perak dan emas, harta benda raja-raja dan daerah-daerah. Aku mencari bagiku biduan-biduan dan biduanita-biduanita, dan yang menyenangkan anak-anak manusia, yakni banyak gundik. 2:9 Dengan demikian aku menjadi besar, bahkan lebih besar dari pada siapapun yang pernah hidup di Yerusalem  sebelum aku; dalam pada itu hikmatku tinggal tetap padaku. 2:10 Aku tidak merintangi mataku dari apapun yang dikehendakinya, dan aku tidak menahan hatiku dari sukacita apapun, sebab hatiku bersukacita karena segala jerih payahku. Itulah buah segala jerih payahku. 2:11 Ketika aku meneliti segala pekerjaan yang telah dilakukan tanganku dan segala usaha yang telah kulakukan untuk itu dengan jerih payah, lihatlah, segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin; memang tak ada keuntungan di bawah matahari.

Jadi sang Guru tiba pada kesimpulan kesimpulan yang menarik, antara lain:
Pertama, kita bekerja bukan untuk menjadi berguna atau membuktikan identitas kita melainkan karena pekerjaan itu adalah anugerah dari Allah. “Taka da yang lebih baik bagi manusia daripada makan dan minum dan bersenang senang dalam jerih payahnya. Aku menyadari bahwa ini pun dari tangan Allah. Karena siapa dapat makan dan merasakan kenikmatan di luar Dia? Karena kepada orang yang dikenanNya, Ia mengaruniakan hikmat, pengetahuan dan kesukaan….” (2:24-26). “Dan bahwa setiap orang dapat makan, minum, dan menikmati kesenangan dalam segala jerih payahnya, itu juga adalah pemberian Allah” (3:13).
Kedua, ada banyak hal yang lebih penting bagi kehidupan dariapda kesuksesan materi yang akan selalu mengecewakan kita. “Siapa mencintai uang tidak puas akan puas dengan uang, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya, ini pun sia sia” (5:9).
Ketiga, Kita akan “tetap hidup” meskipun semua proyek dan bahkan tubuh kita telah terkubur. “Segala sesuatu yang dijumpai tanganmu untuk dikerjakan, kerjakanlah itu dengan sekuat tenaga, karena tak ada pekerjaan, pertimbangan, pengetahuan dan hikmat dalam dunia orang mati, ke mana engkau akan pergi” (9:10).
Keempat, kita akan mengambil resiko investasi dan tidak menunggu datangnya situasi yang sempurna. Akan tetapi, kita tidak boleh “mempertaruhkan segala galanya untuk mendapatkan sesuatu” tetapi lebih baik meminimalisasi resiko. “Lemparkanlah rotimu ke air, maka engkau akan mendapatnya kembali lama setelah itu” (1:1). Ini mungkin menunjuk pada perdagangan biji gandum zaman dulu. Kamu tidak akan pernah mendapat banyak uang dari pasar biji gandum, kata sang Guru, jika kamu menyimpan semuanya dalam lumbung gandum di Alezandria. Jadilah orang yang pemurah, berikanlah, jangan hidup kikir, maka kamu akan mendapatkannya kembali – bahkan mungkin dengan melimpah. “Berikanlah bahagian kepada tujuh, bahkan kepada delapan orang, karena engkau tidak tahu malapetaka apa yang akan terjadi di atas bumi, siapa senantiasa memperhatikan angina tidak akan menabur, dan siapa senantias melihat awan tidak akan menuai” (11:2-4).
Sang Guru rupanya sedang membicarakan topic yang sama dengan ayat 6, “Taburkanlah benihmu pagi pagi hari, dan janganlah memberi istirahat kepada tanganmu pada petang hari, karena engkau tidak mengetahui apakah ini atau itu yang akan berhasil, atau kedua duanya sama baik”.
Kelima, pekerjaan itu ibarat seorang Penginjil yang membawa kita kepada Allah, yang Ia sendiri sebenarnya dapat mengisi kekosongan akan Allah dalam jiwa kita. Pekerjaan kita bersifat sementara, tidak dihargai, akan diambil alih oleh orang bodoh, kita akan mengalami ketidakadilan, suatu kerja keras (2:18; 19, 21, 22). Tetapi, Allah ingin pekerjaan kita menjadi “sia sia”. Jika sang Guru benar adanya, maka kita tidak akan menemukan kepuasan dalam pekerjaan kita melalui iman kepada Allah, sebuah ajaran sesat tentang pekerjaan Kristen saat ini, malah kita akan menemukan kepuasan di dalam Allah melalui pengalaman kerja kita. Ini merupakan sesuatu yang kabur.
Keenam, kita sedang berinvestasi di dalam kekekalan di tengah kehidupan kita saat ini dan kini, menyiapkan harta di Surga bagi diri kita sendiri. “Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Aku tahu bahwa segala sesuatu yang dilakukan Allah akan tetap ada untuk selamanya, itu tak dapat ditambah dan tak dapat dikurangi, Allah berbuat demikian, supaya manusia takut akan Dia (3:11, 14).
“Melampaui Sang Guru”.
Itulah kesimpulan dari para pelihat Perjanjian Lama. Apakah Perjanjian Baru memberikan sesuatu yang lebih baik?, Tidak ditemukan kata kata untuk “kesuksesan” dalam Perjanjian Baru kecuali untuk nama dua perempuan, “Sukses” [Euodia] dan “keberuntungan” [sintikhe] (Flp 4:2). Kata lain dalam Perjanjian Lama dan Baru yang mempunyai arti berdekatan adalah kata “Berkat” (Ul 11:26-28; Mat 5:3-12), sebuah kata yang berani “kekayaan batin dari karakter pribadi yang selaras dengan karakter Allah”.
Tujuan utama bagi umat manusia di dalam Alkitab adalah kebenaran hubungan yang benar dengan Allah, sesama dan seluruh ciptaan. “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan padamu” (Mat 6:33).
Allah menilai kesuksesan sebagai suatu penjungkirbalikan nilai nilai kemanusiaan yang tak lazim, seorang janda miskin dan uang dua peser (Mrk 12:42) dan seorang pemungut cukai yang sedang berdoa (Luk 18:14). Karena Yesus menyebut kerendahan hati sebagai tanda spiritualitas sejati – tenggelam dalam Allah dan menyangkal diri – kita mungkin tidak ptahu bahwa kita sukses ketika kita berada dalam kesuksesan. Kita mempunyai Allah yang telah merendahkan diriNya (Flp 2:6-11). Yesus mengingatkan kita untuk “kumpulkanlah bagimu harta di Surga” (Mat 6:20). Satu satunya harta yang dapat kita bawa dari kehidupan ini adalah kehidupan selanjutnya adalah hubungan yang kita jalin melalui Kristus (Luk 16:9). Cukup mengejutkan ketika Yesus menyatakan bahwa orang yang sukses menurut ukuran manusia adalah orang yang gagal dan bodoh (Luk 12:20).
Robert Girard menyimpulkan, “Kisah sukses dunia (Babel) berakhir dengan penyingkapan Allah akan kegagalan fundamental dari kesuksesan duniawi” (Why 18).
Banyak orang bijak, ketika ditanya bagaimana mereka mendapatkan kebijaksanaan, menjawab bahwa itu diperoleh dengan melakukan kesalahan. Kegagalan dapat menghasilkan karakter yang luhur. Melalui kegagalan, kesombongan kita dihancurkan (Luk 22:54-62). Kegagalan terbesar yang dialami seseorang yang sukses bisa jadi adalah tidak dikenal Yesus pada hari terakhir saat kita semua menghadap Allah, “Aku tidak pernah mengenal kamu” (Mat 7:23; 25:12). Dan keberhasilan terbesar adalah mendengar “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia!” (Mat 25:23).
Di balik pengelolaan waktu, uang dan kesuksesan adalah kebutuhan untuk mengendalikannya. Sang Guru mengatakan pada pasal 11 bahwa kita punya kemampuan mengendalikan hidup secara sempura: engkau tidak tahu malapetaka apa yang akan terjadi di tas bumi (ayat 5); bila pohon tumbang ke selatan atau ke utara, di tempat pohon itu jatuh, di situ ia tinggal terletak (ayat 3), engkau tidak mengetahui jalan angina dan tulang tulang dalam Rahim seorang perempuan yang mengandung (ayat 4) dan engkau tidak mengetahui apakah ini atau itu yang akan berhasil (ayat 6).
Paul Tournier, seorang Psikiater Kristen, memperlihatkan dalam bukunya, The Adventure Of Living, bagaimana rasa takut gagal dan sukses mengendalikan manusia. Namun di balik rasa takut ini terdapat kebutuhan untuk mengendalikannya. Dan kebutuhan untuk mengendalikan itu apda hakikatnya adalah kebutuhan untuk memainkan peran Allah. Tekanan atas kebebasan dan kendali absolut tepat berada di belakang dosa asal di Taman Eden. Itulah kehidupan “di bawah matahari”.
Sang Guru menyimpulkan,meskipun ia secara samar samar, dan lebih berupa isyarat, bahwa takut akan Allah adalah permulaan hikmat, bukan sebuah ketakutan yang mengerikan, tetapi kekaguman penuh kasih kepada Allah, rasa hormat, dan ketergantungan penuh rendah hati. Allah dapat dipercaya untuk segala hasil kehidupan kita. Kita dapat mempercayakan seluruh investasi bakat kita dalam perusahaan kepada Allah. Kita dapat mempercayakan seluruh persembahan kita kepada Allah.
Namun, selalu terbuka kemungkinan terbelenggu oleh kebosanan, kehidupan sengsara dan kering.
Paul Tournier mengatakan, “Hidup ini adalah suatu permainan dobel atau kosong terus menerus. Kita selalu akan tergoda untuk menyelamatkan apa yang kita miliki dengan menolak untuk mengambil resiko. Kalau sudah begitu, berakhirlah hidup penuh petualangan”.
Steve Brinn, mantan wakil direktur perusahaan Trillium Corporation mengatakan, “Berdirilah di atas kepala anda setiap pagi untuk memahami bahwa kita mempunyai segala sesuatu yang sungsang dalam dunia bisnis. Transaksi yang besar bukanlah sesuatu yang penting dalam Kerajaan Allah. Bacalah dongeng: dengan terus menerus menyingkap selubung untuk melihat kemungkinan yang bisa terjadi, jangan menghilangkan cerita cerita kegagalan anda: bersedih, berrefleksi, dan belajar dari kegagalan. Berikan waktu bagi diri anda. Butuh waktu panjang untuk mengetahui siapa diri anda dalam bisnis. Keluarlah dari gaya hidup yang berkelompok dan menyendiri. Bergabunglah dalam suatu gerakan revolusioner tertentu dalam hidup. Jangan pernah menyerah apapun keadaannya”.


By Paul Stevens

0 Response to "Cara Pandang Baru Terhadap “Kesuksesan”, Complete Edition"

Posting Komentar

Postingan Populer

Label