5 Mitos Tentang Emosi Part 1

5 Mitos Tentang Emosi Part 1

Mitos 1: Emosi itu ada yang positif dan yang negative
Menurut kajian kajian ilmu psikologi modern tentang kesehatan mental, berbagai emosi yang kita miliki sangat penting bagi kelangsungan hidup. Pengertian mengenai adanya emosi yang jelek atau yang paling baik ternyata terbukti lebih banyak merugikan daripada manfaatnya. Realitas menunjukkan semua emosi adalah penting. Emosi adalah berkat Tuhan yang berharga dalam kehidupan manusia. Akhirnya ilmu psikologi cenderung tidak membagi emosi atas dasar positif maupun negative, melainkan membagi atas emosi yang menyenangkan dan emosi yang tidak menyenangkan.
Apa bedanya dan apa pengaruhnya? Ada beberapa alasan yang sangat mendasar mengapa ilmu psikologi cenderung membaginya menjadi emosi yang menyenangkan dan yang tidak menyenangkan. Yang paling utama, supaya kita tidak menolak emosi yang dianggap negative yang sebenarnya penting untuk keseimbangan (homeostasis) tubuh maupun mental. Misalnya, tino sering diajari bapaknya, anak laki tidak boleh menangis, ataupun rita yang diajari ibunya, nak kamu tidak boleh iri dengan orang lain, dan lain lain. Dalam kenyataannya penolakan emosi sedih pada tino karena sering dianggap negative sering kali justru dapat menyebabkan gangguan keseimbangan mental, atau dengan kata kata “tidak boleh iri” tidak lantas menghilangkan emosi negative, malah yang muncul adalah perasaan bersalah pada rita karena telah merasa iri. Simaklah cerita nyata ini yang lebih mempertegas lagi mengenai pemahaman bahwa emosi tidak selalu negative pada kasus rudi ini.
Rudi, manajer akuntasi suatu perusahaan garmen. Sebagai anak paling sulung ia diajari untuk tidak mudah cengeng atau tidak menangis menghadapi sesuatu yang membuatnya sedih. Ketika istrinya meninggal karena kanker, ia sangat tertekan dan diliputi kesedihan yang mendalam. Untuk menutupi kesedihannya, ia berusaha bekerja semakin keras dengan menambah jam kerja. Belakangan ia mulai minum minuman keras untuk mengatasi kegalauan hatinya. Baik di kantor maupun rumah ia berusaha tampil sebagai bapak maupun manajer yang tegar menghadapi masalah hidupnya. Ketika ia semakin tertekan karena ditinggal istrinya itu, ia menemui seorang konselor. Salah satu pelajaran yang diterimanya adalah belajar untuk berdamai dengan rasa sedihnya itu. Di depan konselor itu, untuk pertama kalinya rudi bisa menangis dengan lega. Tangisan itu ternyata dapat memberikan perasaan lebih nyaman bagi dirinya.
Dalam kasus rudi ini, jelas sekali pemahamannya yang keliru tentang emosi telah menyebabkan ia menolak mentah mentah perasaan sedih karena kehilangan yang ia alami. Alasan kedua mengapa psikologi tidak membagi emosi atas dasar jelek dan baik adalah karena upaya menjaga netralitas sikap kita terhadap emosi manusia. Emosi pada prnsipnya adalah kondisi netral. Emosi badu akan menjagi negative atau positif, baik atau buruk, tergantung kepada akibat yang ditimbulkannya.
Misalnya emosi iri yang kita anggap buruk. Jika seorang karyawan melihat teman seangkatannya yang dipromosikan menjadi kepala bagian, sedangkan dirinya belum, ia mungkin merasa iri. Sampai di sini masih normal normal saja. Rasa iri itu bisa berkembang menjadi hal yang negative, jika karena merasa iri itu, ia lantas kasak kusuk, menyebarkan fitnah dan gossip murahan mengenai temannya itu. Atau menjelek jelekkan temannya tersebut, di depan atasannya. Namun, rasa iri itu pun bisa menjadi positif. Jika karena iri itu lantas ia berpikir, yang lebih pintar bisa lebih maju. Mengapa aku kok tidak berhasil? Bagaimana caranya aku bisa lebih maju agar bisa seperti dia? Dengan rasa iri ini mungkin terdapat pengaruh yang positif terhadap keinginan untuk maju dari orang yang merasakannya.
Dengan demikian, emosi adalah ibarat pisau bermata dua, yang satu sisi dapat dipakai untuk mengiris daging. Yang pada sisi lainnya dapat dipakai untuk membunuh orang. Dengan ilustrasi ini, sekali lagi emosi kita sebenarnya netral. Semuanya tergantung bagaimana akibat yang dimunculkannya. Termasuk marah sekalipun ada efek positifnya. Jika dipergunakan secara konstruktif. Perhatikan contoh kasus berikut ini:
Seorang kepala bagian penyulingan sejenis zat kimia alam mentah, Pak sinto, memiliki beberapa anak yang sulit diatur. Lebih lebih ada seorang kepala unit, pak jawara, pemimpin informal di salah unit pimpinannya. Pak jawara ini terkenal paling sulit diatur, suka melawan, dan suka melalaikan pekerjaannya. Oleh karena pak sinto terkenal sebagai pemimpin yang baik dan jarang marah. Ia pun tidak berani marah dengan pak jawara, meskipun ia tahu beberapa kelalaian pak jawara misalnya tidur pada saat tugas shift, absen dan lain lain. Suatu ketika karena pak jawara jarang diberi teguran, perilakunya semakin menjadi jadi. Ia lalai mengendalikan temperature dan beberapa mesin otomatis yang menyebabkan pemanasan berlebihan pada beberapa campuran kimia untuk proses penyulingan. Akibatnya terjadi proses berantai pada persenyawaan kimia yang menyebabkan kerugian hingga mencapai miliaran rupiah pada bagian pak sinto. Meski yang lalai pak jawara, pak sinto tetap dianggap bertanggung jawab terhadap kesalahan besar di pabriknya.
Bukankah dalam kasus ini, perasaan marah dari pak sinto mungkin dapat mencegah kelalaian yang dilakukan pak jawara. Namun, karena pak sinto ingin memberikan kesan manajer yang baik, yang tidak pernah marah, tekni mengekspresikan marah secara konstruktif, akan kita bahas suatu hari.

Mitos 2: Emosi itu sama dengan marah
Ini akibat salah kaprah yang banyak terjadi di negera kita. Sudah umum jika kita mendengar orang mengatakan, “jangan ganggu saya, saya lagi emosi nih”. Jadi, orang cenderung mengidentikan emosi dengan rasa marah. Padahal, seperti yang telah kita bahas di atas, emosi tidak melulu soal marah. Marah, hanyalah salah satu dari ribuan jenis energy emosi yang dimiliki manusia.
Begitu pula jika kita gunakan istilah emosional. Tampaknya sudah menjadi lumrah, misalkan pada kalimat, “bos, saya orangnya emosional”. Maka, kebanyakan orang yang menangkap kalimat itu akan mengartikan bahwa bosnya itu suka marah marah, mudah tersinggung, atau tidak menyenangkan. Istilah emosional yang dalam kamusnya berarti penuh perasaan ini pun telah mengalami kemunduran makna sehingga konotasi sangat negative. Tak mengherankan jika jarang ada orang yang suka dibilang “kamu, orangnya emosional”.
Mitos 3: Emosi melulu adalah karena faktor pengalaman dan lingkungan
Adalah keliru jika kita beranggapan bahwa emosi sepenuhnya tergantung pada faktor lingkungan dan pengalaman belajar seseorang. Kenyataan dan bukti bukti eksperiemn psikologis pada bayi bayi yang baru lahir hingga beberapa hari setelahnya menunjukkan bahwa emosi juga merupakan suatu bawaan.
Seperti diungkapkan oleh Atkinson & Atkinso, sejak lahir ada 3 emosi dasar yang dibawa bayi yakni takut, marah dan senang.
Meskipun muncul kontroversi mengenai jenis emosi yang dibawa oleh bayi sejak lahir, seorang tokoh psikologi perkembangan Elizabeth Hurlock membenarkan adanya perkembangan emosi yang tampak pada bayi sejak ia lahir.
Berikut ini adalah sebuah kisah kontroversial mengenai seorang ibu yang mempunyai masalah dengan anak putrinya. Anda bisa percaya atau tidak mengenai kebenaran kisah ini.
Kasus ini diceritakan oleh seorang ibu setengah baya yang memiliki seorang anak putri yang kini duduk di bangku kelas 2 SMA. Sejak kecil, anak putri ini susah diatur. Bahkan ketika memasuki usia remaja, anak ini semakin sulut diajak berkompromi, susah diajak bicara baik baik, apalagi diatur. Karena kesulitan menghadapi anaknya, ibu ini akhirnya mendatangi seorang psikolog untuk konsultasi. Secara kebetulan, psikolog ini juga memilii kemampuan lain. Di bagian akhir konsultasinya, psikolog tersebut menjelaskan dengan tepat suatu peristiwa yang pernah dialami oleh ibu tersebut, tetapi tidak sepmat ibu itu ungkapkan. Penjelasan psikolog ini tentu saja mengagetkan, apalagi kejadian yang terkait dengan anak putri ibu tersebut memang betul betul ia alami di masa lampau. Singkatnya, dengan tepat, psikolog ini menebak bahwa dahulu ketika mengandung bayi tersebut, bayi itu adalah bayi yang tidak diharapkan. Ibu tersebut akirnya diminta menjelaskan lebih detail sejarah bayi tersebut, yang memang tidak diharapkan sejak proses kehamilannya. Ibu itu akhirnya mengaku bahwa pada saat mengandung anak putrinya itu, dirinya tidak siap secara mental dan secara ekonomi pun keluarganya tidak siap. Berkali kali, ibu tersebut pernah mencoba menggugurkan kandungannya. Namun, tidak berhasil. Begitu jengkelnya, hingga ibu tersebut sering mengatakan kalimat kalimat seperti ini pada waktu ia mengandung anak tersebut, seperti, “anak celaka”, “anak sialan”, dan lain lain. Tindakan yang dilakukan oleh ibu tersebut, menurut psikolog yang menangani ibu ini, tanpa sadar sebenarnya telah membangunkan perasaan marah pada bayi yang dikandungnya, “sekarang saya lemah dan tidak berdaya dalam kandungan, dan ibu bisa memperlakukan saya seenaknya, tapi, awas, kalau saya sudah besar, saya akan balas ngerjain ibu”. Menurut ibu itu, memang dari kecil, anak itu selalu menyusahkan hatinya.

Kita bisa saja percaya, bisa saja tidak atas cerita kontroversi di atas, sebab memang tidak ada bukti emperis yang bisa disajikan mengenai mampu tidaknya bayi dalam kandungan untuk berpikir seperti itu. Namun yang jelas, bukti bukti psikologis menunjukkan bahwa kondisi mental dan emosi seorang ibu hamil akan sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan emosi seorang anak. Ibu yang berkarakter sangat mudah tersinggung, marah marah, dan gampan gmeluap kejengkelannya cenderung membentuk anak yang berangasan dan mudah marah. Begitupun sebaliknya.

0 Response to "5 Mitos Tentang Emosi Part 1"

Posting Komentar

Postingan Populer

Label