Manusia Dan Korek Api

Manusia Dan Korek Api

“Manusia dan korek api sama sama berkepala, ketika korek apai sama sama bergesekan ia langsung memanas dan mungkin berapi api. Namun, ketika manusia saling bergesekan, ia tidak harus langsung memanas dan tak perlu berapi api sebab pada kepala manusia ada otaknya!”.
Dalam lama ke 14, mengungkapkan kata kata yang menarik, “Jika kamu ingin orang lain bahagia, ungkapkan kemurahan hatimu, jika kamu ingin kamu berbahagia, ungkapkan kemurahan hati pula”. Seperti kita ketahui, tradisi timur mengajarkan kepada kita untuk tidak mudah menyatakan emosi atau perasaan kita secara terbuka. Sejak kecil, orang tua sering kali tidak membiasakan diri kita untuk mengekspresikan emosi kita secara jujur. Saya ingat sewaktu masih kecil, saat menolak mengunjungi rumah paman saya yang tinggal di daerah pertanian yang terpencil., saya kerap dimarahi karena dianggap kurang menghargai rasa kekeluargaan. Padahal saat itu, saya sebenarnya takut dengan kegelapan di desa. Bahkan, ketika saya mencoba untuk secara jujur mengakui ketakutan saya tersebut, mereka yang “tua” saat itu tetap tidak menghargai perasaan saya. Akibatnya, saya merasa tidak ada artinya bagi saya untuk mengungkapkan apa yang saya rasakan, karena toh tidak akan dihargai.
Saya teringat pula tatkala saya diminta oleh guru untuk menuliskan puisi tentang sungai Kapuas. Saya merasa telah mencurahkan segala emosi saya dalam membuat puisi itu, tetapi puisi itu dinilai jelek hanya karena dianggap karena tidak memenuhi kaidah puisi yang baik. Puisi saya tidak memenuhi kaidah a,b,c,d,e yang dianggap guru saya paling penting dalam menulis puisi. Padahal, beberapa puisi teman sekelas saya yang kurang berbobot malah diberi nilai tinggi. Peristiwa dan pengalaman saya waktu kecil tersebut akhirnya mendidik saya untuk mengikuti kaidah dan hukum daripada mengikuti suara perasaan saya.
Saya yakin, masih banyak anak anak yang selama pendidikannya dimatikannya emosinya dan perasaannya. Mereka dilatih berpikir dengan nalar yang tinggi dan emosi mereka tidak punya arti. Emosi seakan akan menjadi barang yang tabu di bangku pendidikan. Ketika ada anak yang menangis karena sedih, langsung saja dinilai cengeng atau anak mami. Emosi tidak mendapatkan tempatnya,
Akibatnya, kita pun tidak terlatih untuk mengungkapkan emosi secara baik baik. Karena tidak pernah dilatih, kita cenderung mengungkapkan emosi kita dengan cara yang tidak baik, kasar, dan negative. Hal ini karena kita tidak pernah memiliki referensi dalam hidup bahwa emosi bisa diungkapkan secara baik baik.
Dalam hal menyatakan emosi secara terbuka, kiranya bangsa kita perlu banyak belajar. Kita perlu belajar untuk mengungkapkan emosi secara asertif, lebih lepas dan lebih leluasa. Betapa seringnya kita ingin mengungkapkan, ingin melakukan, ingin berbuat, tapi akhirnya tidak jadi karena seakan akan ada tenaga yang membuat lidah kita menjadi kelu dan tangan kita menjadi kaku. Kita memang tidak terbiasa mengungkapkan perasaan kita dalam bentuk kata kata apalagi tindakan.
Kemurahan hati, seperti yang dikatakan dalai lama adalah salah bentuk pernyataan emosi kepada sesama. Bahkan, kemurahan hati (compassion) adalah bentuk dari empati dalam tindakan (empthy in action). Misalkan saja, suatu ketika anda bertemu dengan orang asing yang sepertinya kebingungan. Karena merasa kasihan padanya, anda ingin menolong. Namun, sering kali tidak muncul dalam tindakan karena ada sesuatu yang membuat kita akhirnya tidak melakukannya. dalam hal ini kita membutuhkan suatu emotional act untuk mewujudkan emosi kita dalam bentuk tindakan. Misalkan kita melihat seorang nenek tua yang turun dari bis dengan keranjang yang berat. Kita melihat dari kejauhan dan terbersit niat untuk membantu. Jika akhirnya kita melakukanya maka kita telah berhasil mewujudkan emotional act. Inilah tahapan yang paling sulit. Banyak yang bisa kita rasakan, tetapi betapa sedikit yang bisa berbuat. Mungkin saja karena kita berpikir bahwa masih akan punya banyak waktu dan kesempatan. Namun, kadang kadang Tuhan berkehendak lain.
Salah satu yang menarik adalah sebuah puisi pengakuan dari keluarga yang ditinggal kerabatnya pada saat kecelakaan dan tragedy…..
Judul Puisi: Jika Saya Tahu…
“Jika saya tahu itu adalah waktu yang terakhir, saya melihatmu tertidur, saya akan mendekapmu dengan lebih erat, serta berdoa pada Tuhan, agar jiwamu dijaganya, jika saya tahu itu adalah waktu yang terakhir, melihatmu berjalan dan keluar dari pintu, saya akan memberimu pelukan dan ciuman, dan memanggilmu kembali sekali lagi, jika saya tahu itu adalah waktu yang terakhir, mendengar suaramu yang penuh keceriaan, saya akan video kan semua tindakan dan kata katamu, sehingga saya bisa memutarnya setiap waktu, jika saya tahu itu adalah waktu yang terakhir, saya akan berikan menit menit ekstra untuk berhenti dan menyampaikan, “saya menyayangimu”, daripada saya berasumsi bahwa kamu akan tahu. Jika saya tahu itu adalah waktu yang terakhir, saya akan berada di sampingmu untuk berbagi denganmu….”
Seperti yang kita lihat, sering kali kita berpikir masih aka nada waktu besok. Kita menunda dan berpikir bahwa orang lain akan tahu mengenai perasaan kita, tapi terlambat. Nyatanya, terkadang kita bisa saja keliru karena besok memang tidak akan pernah ada. Mungkin saja besok tidak lagi menjadi hak kita.
Jadi, jika kita menunda dan menunggu hingga besok hari untuk mengungkapkan perasaan kita yang paling mendalam kepada seseorang yang betul betul kita kasihi dan cintai, mengapa tidak melakukannya sekarang?

Seandainya besok betul betul tidak pernah ada lagi dalam hidup kita, maka kita tidak akan mengakhirinya dengan penuh penyesalan….

0 Response to "Manusia Dan Korek Api"

Posting Komentar

Postingan Populer

Label