Memahami Krisis Keuangan Di Asia Dan Dunia Part 1

Memahami Krisis Keuangan Di Asia Dan Dunia Part 1

Ketika krisis keuangan menghantam Asia pada tahun 1997, sebagian besar orang memperkirakan bahwa wilayah ini menuju kehancuran. Tadinya, merupakan ekonomi dengan pertumbuhan paling cepat di dunia, tiba tiba kelihatan menjadi tempat investasi yang paling buruk. Banyak pengamat dengan cepat menunjukkan kesalahan kesalahan yang menyebabkan krisis terjadi. Para pengamat ekonomi makro menyalahkan kegagalan ekonomi makro asia. Analis perbankan dan keuangan menunjuk sistem keuangan asia lemah. Penyebab terjadinya krisis di asia mungkin masih menjadi perdebatan, tetapi hasilnya ternyata tidak: keajaiban asia jelas telah berakhir.
Dalam karakter China, kata “krisis” diucapkan dengan wei-ji dan berarti dua, yaitu “bahaya” dan “peluang”.
Untuk memahami krisis di asia, seseorang harus memahami terlebih dahulu cara asia dalam mengembangkan ekonominya. Huruf huruf yang membentuk kata “asia” dapat dikatakan mewakili hal sebagai berikut:
Pemerintahan yang otoriter (Authoritarian Government)
Pengembangan yang dipimpin oleh pemerintah (State-Led development)
Insititusionalisasi (Institutionalization)
Nilai nilai Asia (Asian Value)
Jaringan (Network)
Sebagain besar bangsa di asia telah mendasarkan pertumbuhan mereka pada 5 elemen ini. Pemerintah yang otoriter tidak selalu berarti jelek. Misalnya, pemerintah Singapore sering dikritik telah bersikap otoriter terhadap penduduknya, tetapi mereka juga dapat diandalkan, bersih dan efesien. Salah satu alasannya adalah karena para pegawai pemerintahan dibayar dengan memadai. Perdana menteri Singapore merupakan kepala pemerintahan yang bayarannya tertinggi di dunia. Soeharto, yang memerintah Indonesia dengan tangan besi selama 32 tahun, dan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Muhammad adalah figure figure otoriter lainnya. Masyarakat RRC dengan hanya satu partai (partai komunis) merupakan contoh lain dari pemerintahan yang otoriter.
Pembangunan yang dibimbing segera (state led development) merupakan karakteristik dari kebanyakan Negara Negara asia. Menteri industri dan perdagangan international (MITI) Jepang, misalnya adalah orang yang sangat berkuasa dalam menentukan industri industri yang layak dikembangkan. Korea selatan yang memiliki hubungan benci-cinta dengan Jepang, merupakan pengikut sejati model pembangunan Jepang. Misalnya, banyak chaebolnya didasarkan pada model keiretsu dari Jepang. Pemerintahan Singapore, yang mengelola sektor public yang besar, juga berperan aktif dalam mengembangkan ekonomi Negara-kotanya. Sebagian besar pemerintahan di asia secara langsung terlibat dalam industri dan bisnis di negaranya.
Suatu pemerintahan yang otoriter yang mendorong pembangunan yang dibimbing Negara merupakan tipikal institusi di asia. Orang orang asia memiliki model pemerintahan, keuangan, dan institusi hukumnya sendiri, dan transparasi tidak selalu dijadikan prioritas utama. Sering kali, institusi informal lebih berkuasa dibandingkan dengan institusi formalnya. Meskipun institusi institusi di asia beragam antara satu Negara dengan Negara lainnya, terdapat tingkat kesamaan yang tinggi di antara mereka.
Nilai asia (Asian value) seperti misalnya menjalin hubungan baik (quanxi), mempertahankan kohesi keluarga, dan menjaga harmono, pada awalnya merupakan nilai nilai awal yang mendukung perkembangan asua yang begitu cepat selama periode booming. Jaringan (netowork), khususnya jaringan cina perantauan (Chinese Overseas), juga berperan penting dalam pengembangan ekonomi di asia. Cina perantauan merupakan mesin utama pertumbuhan yang hampir ada di seluruh Negara Negara asia tenggara, begitu pula halnya dengan jaringan Jepang (keiretsu) juga menciptakan pertumbuhan yang besar di wilayah ini. Akan tetapi, jaringan Jepang merupakan jaringan perusahaan, sementara jaringan cina perantauan merupakan jaringan komunitas. Di asia selatan, kita juga melihat jaringan etnik India yang mendorong pengembangan ekonomi asia.
Ke 5 elemen ini, kemudian dapat digunakan untuk menghitung pertumbuhan asia sampai krisis menghantam. Sekarang mari kita lihat pada tulisan yang membentuk kata “krisis” (crisis):
Currency (mata uang)
Response (respons)
Informations (informasi)
State-driven economy (Negara yang mengendalikan ekonomi)
Investment (investasi)
Sustainable (berkelanjutan, berdaya tahan)
Krisis di asia dimulai dari krisis mata uang. Asia yang telah menjadi wilayah favorit bagi investor, menjadi target utama bagi para speculator mata uang, mata uang asia menjadi overvalued dan berubah ubah, serta mulai menunjukkan tanda tanda “bubble economy”. Semakin “bubble” perekonomian, semakin sulit bagi pemerintah merespons krisis dengan benar. Ketika pemerintah melakukan tindakan untuk mempertahankan nilai tukar mata uangnya, komunitas bisnis dan masyarakat umum merasakan tanda bahaya (alarm). Kepanian dan informasi negative tentang situasi krisis menyebar dengan cepat.
Peluang hadir ketika pemerintah asia mengambil langkah untuk menenangkan situasi dan berupaya melakukan pemulihan serta melakukan reformasi. Sebagian besar perekonomian asia sepenuhnya dikendalikan oleh pemerintah. Industri perbankan yang rapuh harus dikapitalisasi, beberapa bank bahkan diambil alih oleh pemerintah. Hal yang sama juga terjadi pada perusahaan perusahaan swasta yang tidak mampu membayar hutangnya.
Setelah itu, investasi baru, khususnya investasi asing, diundang untuk “menyelamatkan” bisnis bisnis domestic di berbagai industri. Diharapkan bahwa investor asing akan merestrukturisasi perusahaan perusahaan yang bermasalah tersebut dan kemudian menciptakan perusahaan yang sustainbale.
Hal tersebut menjelaskan repositioning asia: from bubble to sustainable economy. Tanpa krisis, asia mungkin masih menjadi wilayah bubble tanpa insentif untuk menjalankan destruksi kreatif dan reformasi. Krisis telah memberikan asia peluang untuk meluncurkan kembali dirinya sebagai suatu ekonomi yang sustainable. Upaya reposisi perlu dilakukan pada tingkat Negara dan tingkat perusahaan. Pada era setelah krisis, kita sangat yakin bahwa asia akan menjadi lebih kuat dibandingkan sebelumnya.
Bagi sebagian besar masyarakat Hongkong, detik detik menjelang awal 1 Juli 1997, merupakan saat untuk berpesta pora. Sebuah perayaan besar diselenggarakan untuk menyambut acara serah terima kota-negara tersebut dari Kerajaan Inggris Raya (Great Britain) kepada Republik Rakyat Cina (RRC). 2 perayaan terpisah diadakan pada jam yang berbeda pula yaitu di Convention dan Exhibition centre yang futuristic. Perayaan tersebut diramaikan dengan penyalaan kembang api raksasa sampai penerangan piroteknik dan lasernya yang seharga US$ 13 juta sepanjang dermaga victoria. Di hadapan seluruh dunia, Tung Chee-hwa, pemimpin baru wilayah administrasi khusus Hongkong (SAR), dengan bangga menjelaskan “era baru dan identitas baru” untuk Hongkong. Saksi mata pada perayaan besar ini dapat dimaafkan atas ketidakmampuan dalam mendeteksi akan datangnya “krisis dunia yang terburuk setelah perang dunia ke II”.
Bagaimana Krisis Ini dimulai ?
Beberapa bulan sebelum perayaan Hongkong tersebut, beberapa Negara Asia, seperti Thailand, telah mulai merasakan, meskipun sengaja mengacuhkan pertanda awal dari krisis ini. Di Thailand, deficit current account mencapai 8 persen dari GDP (Gross domestic product) dan beberapa perusahaan lokal menghadapi kebangkrutan karena tingkat suku Bunga yang terus meningkat. Pada Juni 1997, bursa saham Thai bertahan dengan tingkat nilai yang terendah dalam 8 tahun terakhir ini. 16 perusahaan keuangan public telah di skors (tidak diijinkan untuk beroperasi sementara waktu) untuk segera demerger dengan perusahaan lainnya agar menjadi suatu perusahaan gabungan yang lebih sehat. Untuk mengatasi ini, pemerintah Thailand berjanji akan mengangkat nilai Baht daripada semuanya menjadi hancur.
Pada tanggal 2 Juli, sehari setelah perayaan serah terima Hongkong, Baht melonjak bersamaan dengan pengumuman yang dilakukan oleh Pemerintah Thailand mengenai diambangkannya mata uang Baht (managed float), yang secara efektif mengakui bahwa mereka tidak mampu mengharapi (kalah) serangan para spekulan yang terjadi beberapa bulan terakhir ini, inilah hari kerja pertama Krisis Asia, yang tidak terlihat dengan jelas dan tidak diperkirakan sebelumnya.
Perisitiwa berikutnya sama dengan kejadian saat meletusnya Gunung Krakatau, sebuah gunung berapi yang berada di antara pulau Jawa dan Sumatra Indonesia. Ketika terakhir kalinya Krakatau meletus pada tanggal 27 Agustus 1883, kekuatan ledakannya menghancurkan sebagian besar gunung tersebut dan menyebabkan gelombang laut naik setinggi 100 kaki. Kota kota sekitar ledakan gunung tersebut terkurung dalam kegelapan dan debu sisa ledakan gunung tersebut juga meliputi area seluas 300.000 mil. Ledakannya terdengar sampai ke Philipina, Alice Spring di Australia, Pulau Rodrigues dan Madagaskar, bahkan debunya diberitakan mencapai pantai barat Amerika Serikat.
Krisis Asia, pada umumnya terjadi pada 3 tingkatan (tahapan) yang beruntun: Keruntuhan ASEAN (Negara yang tergabung dalam Asia Tenggara), “ledakan” di Asia dan “ledakan susulan global”. Krisis ini bermula dari Thailand ketika pemerintahnya melakukan devaluasi mata uang pada pertengahan Juli 1997. Pengaruh buruk ini menyebar ke Negara Negara Asean lainnya. Pada tahapan inilah banyak orang mulai menyadari akan bahaya awal yang awal terjadi. Walaupun beberapa Negara di antaranya menolak anggapan ini. Keruntuhan ini terus berlanjut, sejalan dengan keruntuhan Asean menyebar ke Negara Negara Asia Timur lainnya, termasuk Korea selatan, Hongkong, bahkan Vietnam. Walau pada awal tahun 1998 pasar asua mengalami periode pemulihan yang singkat, setelah itu masa kejutan tetap terjadi dan berlangsung kembali.
Selama tahap kejutan tersebut. Krisis asia tidak hanya terbatas bagi Negara Negara asia saja, tetapi juga Negara Negara di seluruh dunia, menjalar ketakutan akan terjadinya suatu keruntuhan global. Di Indonesia, problem ekonomi menjalar ke problem lainnya, yang mengakibatkan ketegangan sosial dan politik. Inilah tahap dimana asia mulai menerima bahwa mereka mengalami krisis yang melelahkan. Kenyataannya, pada tahapan inilah pembicaraan akan kebutuhan pembangunan kembali secara serius mulai dilaksanakan. Lebih jelasnya, kronologi kejadian umum selama Krisus Asia dijabarkan sebagai berikut:
Kronologi Krisis di Asia (Keruntuhan ASEAN- Meltdown)
Mei – Juni 1997: Baht Thailand diserang kaum spekulan; Bank Of Thailand secara agresif melakukan intervensi
2 Juli 1997: Baht Thailand mengalami devaluasi mencapai 28.8 per US$ dan Bank Of Thailand
11 Juli 1997: Philipina membiarkan mata uang peso ikut mengambang; Indonesia melebarkan batas (band) perdagangan rupiah dari 8 persen sampai 12 persen
17 Juli 1997: Dollar Singapore menurun sampai 1.46 per US$, ini merupakan angka terendah sejak Februari 1995
24 Juli 1997: Ringgit Malaysia turun sampai 2.65 per US$, PM Mahatir mengutuk para “spekulan biadab” tersebut
3 Agustus 1997: Malaysia memotong akses luar negeri terhadap ringgitnya melalui transaksi swap
13 Agutus 1997: Indonesia menghapuskan batasan (band) perdagangan, rupiah jatuh 2.740 per US$

Ledakan di Asia
Juli 1997: Otoritas Moneter Hongkong (HKMA) menghabiskan dana sebesar US$ 1 miliar untuk melawan serangan para speculator terhadap dollar HK
15 Agustus 1997: HKMA menaikkan tingkat suku bunga sebesar 150 basis poin sampai 8 persen
September 1997: Mata uang ASEAN jatuh semakin jauh
17 Oktober 1997: Kejadian ASEAN berpengaruh pada dollar Taiwan, jatuh 5 persen, menjadi 29.89 per US$
20-24 Oktober 1997: Indeks Hang Seng jatuh lebih dari 23 persen
27 Oktober 1997: Wall Street jatuh 554 poin
31 Oktober 1997: Indonesia menandatangani rencana penyelamatan (rescue plan) US$ 23 dollar IMF, Bank Indonesia (BI)
6 November 1997: Won Korea jatuh meski ada intervensi pemerintah, kesehatan sistem keuangan (korea) dipertanyakan.
9 November 1997: Berakhirnya kelumpuhan politik di Thailand dengan terpilihnya Chuan Lek Pai sebagai Perdana Menteri
17-21 November 1997: Pemerintah Korea berhenti mempertahankan nilai won (yang terus melemah) dan menandatangani paket penyelamatan US$ 57 miliar dengan IMF
24 November 1997: Yamaichi Securities dinyatakan bangkrut
18 Desember 1997: Kim Dae Jung memenangkan kursi kepresidenan di Korea

Ledakan Susulan Global
5 Januari 1998: Presiden Indonesia Soeharto menandatangani perjanjian kedua dengan IMF
12 Januari 1998: Perusahaan investasi Hongkong Peregrine bangkrut
16-19 Januari 1998: Kebanyakan pasar saham Asua dan mata uang Asia naik kembali selama periode tersebut
22 Januari 1998: Rupiah turun sampai Rp.15.000 per dollar Amerika
10 Februari 1998: Soeharto merencanakan untuk mengusulkan Currency Board Systems (CBS) yaitu dengan cara mematok nilai rupiah, IMF tidak setuju dengan rencana tersebut
10 Maret 1998: Mahasiswa protes atas terjadinya kelaparan
20 Maret 1998: Soeharto menunda pelaksanaan CBS dan mulai melakukan pembicaraan awal dengan pihak IMF
12-14 Mei 1998: Terjadinya kerusuhan di Jakarta setelah pasukan keamanan membunuh 4 orang mahasiswa
19 Mei 1998: Jatuhnya bursa saham di Rusia, Brazil, Mexico, dan Argentina
21 Mei 1998: Soeharto lengser, B.J Habibie menggantikannya
29 Mei 1998: Hongkong mengumumkan pemangkasan 2 persen dalam 3 bulan pertama
29 Mei 1998: Yen Jepang turun sampai di bawah 140 per US$ karena kuatir Yen Cina mulai didevaluasi
Agustus – Oktober 1998: Ketakutan akan berdampak pada dunia global seperti krisis Rusia yang berpengaruh sampai ke Amerika Latin

Oktober – November 1998: Pulihnya kepercayaan para investor

0 Response to "Memahami Krisis Keuangan Di Asia Dan Dunia Part 1"

Posting Komentar

Postingan Populer

Label