Membangun Perekonomian Yang Sehat

Membangun Perekonomian Yang Sehat

Rabu sore pekan lalu, saya diundang oleh majalah Gatra. Majalah ini meminta saya berbicara di depan orang redaksi dan bagian usaha tentang bagaimana menyiasati krisis ekonomi sekarang ini.
Secara kebetulan di majalah Gatra terbitan pekan lalu, kantor saya membuat sisipan pemasaran “Kiat memenangkan persaingan di era krisis”, yang sebenarnya merupakan pengembangan dari presentasi yang pernah saya lakukan di marketing gathering MarkPuls & Strategy Forum pada Desember 1997.
Saat itu, saya kebetulan datang lebih cepat setengah jam dari yang ditentukan di kantor Gatra yang terletak di salah satu gedung megah di jalan Thamrin, Jakarta. Maklum , jalanan agak sepi karena ada kabar demonstrasi di sejumlah tempat di Jakarta. Karena itu, saya kemudian bisa berbincang bincang agak lama dengan beberapa bos Gatra, seperti H. Mahtoem Mastum, Lukman Setiawan, dan Budiono Kartohardiprojo. Tujuaannya, agar saya mendapat gambaran mengenai kondisi Gatra. Sehingga, apa yang akan saya presentasikan bisa nyambung dan lebih membumi.
Tentu saja, saya juga menggunakan contoh-contoh lain. Baik dari perusahaan Indonesia lainnya, dari luar, maupun dari saya sendiri. Salah satunya adalah film titanic. Kebetulan, saya juga pernah melihat operanya tahun lalu sewaktu pergi ke Amerika Serikat. Kisah titanic itu, menurut saya, merupakan gambaran terbaik atas krisis yang dihadapai Indonesia pada saat ini. Kenapa? Karena salah satu penyebab tenggelamnya titani adalah over confidence dari sang pemilik kapal. Pemilik kapal titanic ini memaksa sang nahkoda menjalankan kapal lebih cepat sehari dari yang direncanakan. Tujuannya, ingin menunjukkan kehebatan titanic kepada dunia.
Hal yang sama terjadi dengan Indonesia. Tapi, harus diakui, masalahnya lebih kompleks. Karena agar over confidence bukan hanya dari dalam negeri saja, melainkan juga dari luar negeri. Bahkan, beberapa minggu sebelumnya krisis moneter mulai menyebar. Bank dunia masih sempat mengeluarkan pujian mengenai fundamental ekonomi Indonesia.
Akibatnya, banyak orang yang kemudian kehilangan control dan mulai hidup di atas kemampuan. Saya ingat, banyak eksekutif di Jakarta yang untuk menunjukkan diri bahwa mereka adalah orang sukses sebagian besar membeli mobil BMW. Padahal, mereka itu sebenarnya belum mampu. Bahkan, tak sedikit yang berpendapat kalau pun hanya bisa memiliki selama 3 bulan tidak jadi soal, yang penting, pernah punya BMW.
Bukan hanya itu, banyak orang yang merasa kurang sreg kalau tidak sering pergi ke café dua atau tiga kali dalam seminggu. Padahal mereka belum pantas membeli segelan Coca Cola seharga 10.000 rupiah. Itu belum seberapa, banyak yang karena ingin menunjukkan diri sebagai orang sukses, enteng saja metrakstir teman-temannya. Bahkwa nanti kartunya njegreg dan kerepotan membayar, urusan belakangan.
Ini sungguh kontras dengan Singapore. Saya punya teman seorang direktur eksekutif Singapore yang cukup berhasil. Tapi, jarang sekali dia menunjukkan diri sebagai orang yang berhasil. Kalau mengantar saya jalan-jalan, ya pakai mobil biasa. Begitu juga kalau mengajak makan, juga di tempat biasa-biasa. Padahal dia itu teman baik saya dan kaya. Wong bisa beli apartemen di London. Dan saya tahu persis, ia seperti umumnya orang Singapore, kalau mau belanja bukan hanya sekedar cara yang berkualitas, tapi juga mesti murah. Sementara, ibu ibu kita kalau belanja di Singapore seperti orang yang lepas kendali.
Saya sendiri juga mengakui ikut ikutan budaya snob. Ketika memutuskan pindah basis utama dari Surabaya ke Jakarta, saya pun terpaksa menyesuaikan diri. Misalnya dengan kerja pakai setelan jas. Soalnya di Jakarta, orang seperti saya itu memakai jas kalau kerja.
Dan bukan hanya saya saja yang menyesuaikan diri. Produsen pun banyak yang ikut-ikutan snob. Bikin produk untuk melayani konsumen-konsumen snob.
Ini merupakan suatu lompatan besar. Pada saat kita mulai membangun, para produsen, karena merasa bahwa konsumen banyak yang masih dumb, bikin produk semurah mungkin. Yang penting terjual. Tapi, sebagai akibat dari proses pembangunan dan juga kemudian globalisasi, konsumen kita itu banyak yang mahal harganya. Karena merasa over confidenc, maka produk tersebut langsung mereka tubruk. Tak peduli bahwa untuk itu mereka harus hidup di atas kemampuan.
Tak heran kalau produsen pun akhirnya terdorong bikin produk yang mestinya hanya untuk penduduk di negeri negeri yang sudah kaya. Bagaimana tidak terdorong, kalau produk yang ditawarkan itu ternyata lumayan juga yang bisa membeli.
Tapi, dengan terjadinya krisis moneter sekarang ini, semuanya baru sadar bahwa selama ini kita hidup di atas kemampuan. Karena itu, krisis ekonomi yang terjadi sekarang bagaimanapun punyak hikmah. Sebab, memaksa kita menyadari bahwa selama ini kita hidup di atas kemampuan.
Itulah sebabnya, perusahaan yang terlanjur bikin produk melayani konsumen yang hidup di atas kemampuan, mau tak mau juga harus mirroring atau menyesuaikan diri. Karena, konsumen, setelah mengalami krisis ini, menjadi semakin rasional
Mereka kini mulai berhitung bukan hanya dari bisa tidaknya mereka menjangkau produk yang ditawarkan namun juga value dari produk yang ditawarkan. Banyak perusahaan di Jakarta yang sekaran ini sedang berencana pindah office building ke ruko. Sebaliknya, mereka melihat bahwa total get-nya lebih kecil dari total give-nya.
Kalau perusahaan tidak melakukan mirroring, seperti yang dulu mereka lakukan ketika konsumen masih dumb ataupun snob. Ya repot. Sebab sikap business as usual ini yang menyebabkan kita jadi semakin terperosok lebih dalam dengan krisis ekonomi.
Yang lebih penting lagi, konsumen menjadi lebih cerdik dari perusahaan yang menjadi cerdik akan membuat perekonomian jadi lebih sehat, karena berpijak pada kemampuan.
Jadi, kalau suatu ketika perekonomian digoyang, tidak akan begitu terpengaruh, seperti Taiwan dan Singapore sekarang. Sehingga, bukan hanya relative tidak terganggu, tapi juga masih bisa menawarkan bantuan kepada tetangganya yang sedang kesulitan.

By Hermawan K (Harian Republika, 18 Februari 1998)

0 Response to "Membangun Perekonomian Yang Sehat"

Posting Komentar

Postingan Populer

Label