5 Mitos Tentang Emosi Part 2

5 Mitos Tentang Emosi Part 2

Mitos 4: Emosi melulu ditentukan faktor keturunan
Emosi ditentukan oleh faktor keturunan, itu pun tidak benar. Emosi mirip dengan inteligensi manusia, terbukti tidak sepenuhnya karena merupakan hasil prose bawaan saja. Adanya budaya, pola pendidikan dan pengalaman hidup nyata nyata memberikan pengaruh besar terhadap cara seseorang dalam mengelola emosi maupun menyatakan emosinya.
Tak heran jika di Indonesia, kita sering kali mendengar stereotype suku suku tertentu yang dianggap mudah marah, berangas, kasar, darah panas, dan lain lain, ada pula suku lain yang dianggap lemah lembut, santun, tenang, dan lain lain. Cap cap ini tentu saja tidak memiliki dasar dasar bukti emperis yang kuat dan bahkan cenderung dipakai untuk kepentingan mendiskreditkan suku suku tertentu.

Emosi 5: Emosi mengurangi kualitas pengambilan keputusan
Selama bertahun tahun, dunia bisnis percaya bahwa emosi atau perasaan kita mengganggu kemampuan kita untuk berpikir secara logis. Tak heran jika kita sering kali mendengar seorang pemimpin memarahi anak buahnya, “jangan terlalu menggunakan perasaan dalam mengambil keputusan seperti ini, kau harus lebih rasional. Kamu harus tegas”. Dari kata kata itu seakan akan kita pun mempercayai bahwa emosi memang membuat kita tidak bisa berpikir rasional.
Atau, kita pun terkondisi untuk percaya bahwa kualitas pengambilan keputusan akan berkurang jika menggunakan emosi. Tapi, benarkah demikian?
Ternyata keliru. Buktinya terungkap dengan penelitian mendalam yang pernah dilakukan oleh Antonio Damasio pada tahun 1994. Intinya, ia melakukan serangkaian penelitian terhadap pasien yang mengalami kerusakan otak, khususnya di bagian prefrontal. Secara umum, fungsi IQ pasien ini normal. Bahkan ia masih dapat melakukan proses analisis dan berpikir secara logic. Jadi, IQ nya jalan. Namun, ketika pasien ini diminta untuk memutuskan di antara dua waktu untuk bertemu lagi dengan dokter yang merawatnya, pasien itu kebingungan. Pasien itu kebingungan di dalam kemampuannya untuk memutuskan dua hari yang sama sama ia ketahui punya keuntungan dan kerugian baginya, jika dikaitkan dengna jadwal jadwal pribadi yang lain. Pasien itu sendiri mampu menjelaskan keuntungan dan kerugiannya dengan setiap pilihan yang diberikan. Namun, ketika sampai pada saat dimana ia harus mengambil keputusan, pasien itu kebingungan.
Bingungnya si pasien ini akhirnya diketahui berhubungan langsung dengan rusaknya koneksi dengan sistem emosi di otaknya, khususnya dengan sistem limbic dimana terdapat amygdala, yang mengurusi emosi. Sistem amygdala di otak yang berkembang pada waktu bayi inilah yang menyimpan segala macam memori mengenai yang menyenangkan (pleasure) dan yang tidak nyaman (pain). Memori ini akan menjadi pengalaman yang terus tersimpan, bahkan akan terus digali kembali setiap saat kita mendapatkan pengalaman yang baru.
Itulah sebabnya, bagaimana emosi dapat berperan dalam pengambilan keputusan, bukanlah sesuatu yang harus dihindari, bahkan wajib hukumnya. Jika kita kaitkan dengan pengambilan keputusan yang berhasil.
Bahkan, seorang peneliti yang mengkaji ulang risetnya, Damasio, yakni Greenspan, pada tahun 1997 mengungkapkan bahwa untuk menjawab pertanyaan pertanyaan yang sederhana sekalipun, kita harus mengerti dengan emosi kita. Sebagai contoh, apabila kita ditanya, “apa kabar?” atau “bagaimana situasimu hari ini?”. Untuk jawaban sederhana ini saja, kita membutuhkan suatu proses koneksi dengan emosi kita.
Jawaban normative yang biasa kita berikan adalah “baik” “bagus”. Nah, untuk memberikan jawaban sederhana itu saja, kita harus mengerti tentang adat sopan santun, kebiasaan yang kita perhitungkan secara emosi dapat diterima. Apalagi, jika misalnya kita diminta untuk lebih jujur lagi menjawab pertanyaan, “apa kabar?”. Analisis yang lebih mendetail menunjukkan bahwa emosi kita berperan penting untuk menilai apakah hari yang kita lewati hari ini cukup menyenangkan atau tidak. Atau, saat kita mengatakan menyenangkan pun, kita telah menggunakan perasan untuk membandingkan dengan pengalaman yang lalu, mengenai menyenangkan tidaknya hari ini.

Dengan demikian, perhatikan sesungguhnya, emosi kita berperan jauh lebih hebat daripada yang pernah kita bayangkan sebelumnya. Kualitas berpikir tidaklah menjadi lebih berkurang karena hadirnya emosi kita, bahkan sebaliknya. Jadi, silahkan anda menjawab, “bagaimana kabar anda hari ini?”

0 Response to "5 Mitos Tentang Emosi Part 2"

Posting Komentar

Postingan Populer

Label