Belajar Dari Singapore Part 2

Belajar Dari Singapore Part 2

Singapore mengawali debutnya sebagai bagian dari Kerajaan Sriwijaya di Sumatera, namun menjadi bagian dari Kerajaan Inggris pada tahun 1826. Selama lebih dari satu abad. Singapore tetap menjadi milik Inggris, hanya diinterupsi dalam penjajahan Jepang selama perang dunia ke 2.
Setelah perang usai, dan Inggris memberikan kemerdekaan pada lebih banyak anggota kerajaannya, rakyat Singapore mulai berpikir akan kemerdekaan mereka sendiri. Inggris bersikap skeptic ketika itu. Singapore tidak memiliki sumber daya alam dan tidak ada pengalaman dalam pemerintahan. Rakyatnya menuntut kemerdekaan, namun secara kebudayaan masih memiliki cara berpikir colonial. Di atas segalanya, terjadi sebuah pertikaian.
Pada tahun 1959, Singapore dinyatakan merdeka. Namun Negara ini tidak baik prestasinya. Ketika itulah rakyatnya memutuskan bahwa harapan mereka satu-satunya adalah bergabung dengan Malaysia, yang mereka lakukan pada tahun 1963. Namun Rakyat Malaysia tidak akur dengan rakyat Singapore, dan setelah dua tahun, Malaysia bertikai dengan Singapore. Pemimpin Singapore, Perdana Menteri Lee Kuan Yew, merasa negaranya telah dibuang dengan sedikit prospek serta pengharapan. Hanya satu hal yang dapat dilakukan: berusaha sendiri keluar dari situasi yang buruk.
Lee Kuan Yew bergumul dengan persoalan tersebut, sehingga ia mendapatkan sebuah rencana. Ia adalah pemimpin yang masih muda ketika itu, baru 42 tahun, dan tidak seperti kebanyakan rekan sebangsanya, ia berpendidikan tinggi. Ia tahu bahwa perbaikan itu mungkin, namun dibutuhkan satu generasi untuk mencapainya. Sasarannya adalah menciptakan kondisi-kondisi dunia pertama di Negara dunia ketiga. Seperti inilah keputusannya:
Memasukkan industri: Tujuan utamanya adalah memasukkan industri yang akan mempekerjakan pekerja yang tidak terampil sehingga rakyatnya akan mendapatkan pekerjaan.
Menciptakan perumahan umum: Ia ingin meningkatkan kualitas hidup rakyatnya dan memberikan inspirasi pada mereka. Mereka akan ditampung di perumahan yang lebih baik, namun harus membayar.
Menyekolahkan rakyatnya: satu-satunya cara bagi Negara itu untuk memperbaiki diri adalah jika rakyatnya memperbaiki diri. Lee akan membuat pendidikan itu murah bagi semua orang.
Mendirikan sistem perbankan: sasarannya ingin menjadikan Singapore sebagai pusat keuangan di Asia.
Mendorong perjalanan international: Singapore akan menjadi tujuan bisnis dan wisata dengan bandara kelas dunia.
Sasaran Lee sungguh sangat tinggi dan rencananya sangat ambisius. Dibutuhkan tekad yang sangat luar biasa dan ketekunan yang konsisten untuk mencapai impiannya itu, namun ia tetap membutuhkan bantuan untuk melaksanakannya. Ia berpaling pada PBB untuk meminta bantuan. Walaupun organisasi ini bersedia memberikan bantuan, segalanya tidak berjalan lancara pada awalnya. Dr Albert Winsemius, seorang penasehat industri serta ekonomi dari PBB, mengunjungi PBB dan berkata, “Sungguh memusingkan. Ada demo yang tidak jelas tuntutannya. Ada kerusuhan setiap hari dimana-mana. Kesan saya yang pertama adalah tidak ada harapan”.
Namun, Lee dan rakyat Singapore bertekun dengan sangat konsisten. Pertama, mereka mendapatkan ratusan juta dollar dari Bank Dunia, Inggris serta Jepang. Berikutnya, mereka membawa ahli-ahli dari seluruh dunia untuk menolong mereka dengan sangat teliti Singapore memilih perwakilan-perwakilan dari Negara-negara yang unggul di bidangnya masing-masing:
Jepang dan Jerman: sebagai penasehat teknis untuk mendirikan pabrik
Swedia dan Belanda: sebagai ahli dalam bidang perbankan dan keuangan
Israel: sebagai penasehat militer
New Zealand dan Australia: sebagai penasehat angkatan udara dan angkatan laut
Lalu , mereka membawa 1200 perusahaan dari Amerika Serikat dan Jepang, termasuk General Electric, IBM, Hewlett Packard, Philips, Sony, Mitsubishi, Caterpilar, Texas Instrument, Mobil Oil, dan masih banyak lagi.
Kisah Singapore Adalah Kisah Pemandu Wisata Kami Juga (From John C Maxwell)
Sementara pemandu wisata kami, Susanna Foo, menceritakan tentang negaranya, ia berjuang melawan air matanya. Sebelumnya ia adalah salah seorang warga yang tidak berpendidikan, yang harus berjuang, yang telah dibantu oleh negaranya untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Ketika remaja di tahun 1960 an, ia putus sekolah menengah. Namun, ketika negaranya mulai maju, iapun kembali ke jalurnya. Ia kembali sekolah malam dan memperbaiki dirinya. Hari ini, di usia 50 tahun, ia paham jarak luar biasa yang telah ditempuhnya serta negaranya. Ia telah menyaksikan negaranya berubah dari rawa menjadi kota metropolitan. Ia pun telah menyaksikan rakyat Singapore berubah dari orang-orang yang tidak berdaya yang cuek, menjadi peraih prestasi yang tangguh dan memiliki disiplin tinggi dalam hidup.
Singapore terus berubah, rakyatnya terus memperbaiki diri, dan mereka memfokuskan perhatian untuk membalas budi. “Kami terlibat dalam membantu Bosnia, Zimbabwe, Turki, Vietnam, Timor Timur, dan Kuwait”, kata Susanna. “Sekarang giliran kami untuk membalas budi, karena kamu mengerti betapa besar kebutuhan itu, kamu bersedia pergi kemanapun yang PBB minta”.
Saya tidak tahu pasti kapan saya akan kembali ke Singapore, namun ketika saya berangkat, saya sadar bahwa saya tidak akan lupa pada Susanna Foo atau kotanya yang indah. Dari semua Negara serta kota yang pernah saya kunjungi, tidak ada yang lebih memberian contoh dalam mengubah kegagalan menjadi batu loncatan.

(From John C. Maxwell, PP.230-232)

0 Response to "Belajar Dari Singapore Part 2"

Posting Komentar

Postingan Populer

Label