Arti Fanatik (Kefanatikan) Part 1
Yakobus 1:19-27, “Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku Firman dan bukan hanya pendengar saja, sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri. Sebab jika seorang hanya mendengar Firman saja dan tidak melakukannya, ia adalah seumpama seorang yang sedang mengamat ngamati mukanya yang sebenarnya di depan cermin. Baru saja ia memandang dirinya, ia sudah pergi atau ia segera lupa bagaimana rupanya. Tetapi barang siapa meneliti hukum yang sempurna, yaitu hukum yang memerdekakan orang, dan ia bertekun di dalamnya, jadi bukan hanya mendengar untuk melupakannya, tetapi sungguh sungguh melakukannya, ia akan berbahagia oleh perbuatannya”.
Pernahkah anda berpikir bahwa menjadi fanatic tentang hampir segala sesuatu dapat diterima kecuali agama?.
Setiap orang menerima orang yang fanatic terhadap olah raga. Kata “fans” berasal dari fanatic, jadi seorang yang fanatic terhadap olahraga hanyalah orang yang semata mata fanatic bagi timnya. Saya mengenal para pelari yang dapat saya sebut fanatic. Tak peduli bagaimana cuacanya, mereka akan pergi ke luar untuk jogging. Moto dinas pos Amerika serikat adalah sebuah kutipan klasik yang terkenal: “Tak peduli hujan dan salju, maupun hujan es atau batu, atau kegelapan malam, tak aka nada satupun yang akan menahan para kurir yang berani tersebut untuk menyelesaikan dengan cepat tugas keliling mereka yang ditetapkan”.
Saya kira itu juga berlaku bagi para pelari kenalan saya itu. Alasan inilah yang membuat saya menganggap mereka sebagai orang orang fanatic. Fanatisme jelas bisa diterima dalam hampir semua bidang kehidupan. Namun ketika anda berbicara soal agama, pokok persoalan yang sangat dan paling penting, orang takut kepada fanatisme. Mereka tidak segan segan mengotak ngatik berbagai gagasan religius, tetapi mereka tidak ingin menjadi berkomitmen terhadap hal hal itu. Mereka berkata, “saya tidak mau menjadi fanatic tentang itu”.
Yakobus berbicara tentang sikap semacam itu ketika ia berkata, “tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku Firman dan bukan hanya pendengar saja, sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri” (Yak 1:22). Seseorang yang sungguh sungguh menjadi pelaku Firman adalah fanatic tentangnya.
SEORANG FANS ROH KUDUS
Walaupun menjadi seorang fanatic religius mungkin tidak bisa diterima saat ini, sebenarnya hanya dalam agama kata “fanatic” dapat digunakan dengan tepat. Ini karena kata “fanatic” berasal dari kata latin fanaticus, yang berarti “diilhami oleh keilahian”.
Orang yang fanatic adalah orang yang atasnya roh suatu allah telah turun. Maka dalam arti keKristenan, seorang fanatic adalah orang yang atasnya Roh Kudus telah turun untuk menuntunnya menuju suatu pengetahuan akan kebenaran tentang Allah dan gaya hidup yang sesuai dengan kebenaran itu.
Surat Yakobus sulit untuk diuraikan. Seseorang telah menyamakannya dengan serangkaian catatan khotbah. Atau mungkin juga bisa dibandingkan dengan serangkaian manik manik. Setiap butirnya penting, tetapi tidak selalu mudah untuk menentukan mengapa setiap butir diletakkan di tempatnya. Namun, dalam bagian ini, dimana Yakobus membahas tentang berkotmitmen pada apa yang diakui seseorang, rangkaian pemikirannya tampak jelas. Separu pertama pasal ini, telah membicarakan ujian dan pencobaan. Akan tetapi, sebagaimana ditulis Yakobus, ia pasti menyadari bahwa beberapa pembacanya mungkin akan berkata, “jika itu adalah jenis agama yang anda bicarakan, sebuah agama dimana kesabaran harus dicapai hanya melalui pencobaan, penderitaan, kesukaran dan kesengsaraan, saya tidak yakin benar benar menjadi penganutnya”.
Yakobus bisa menunjuk kepada teladan orang orang dalam Perjanjian Lama yang telah mencapai kesabaran melalui penderitaan, tetapi jika ia lakukan, ia hanya akan memperburuk masalah. Daftar teladan dari Perjanjian Lama manapun pasti akan mencakup Ayub, yang kisahnya akan kita lihat di bagian berikutnya. Ayub sangat diberkati Allah dalam hal materi di dunia ini. Ia juga mempunyai keluarga yang saleh, tujuh anak laki laki dan tiga anak perempuan, semua berbakti kepada Allah. Di samping itu, ia sehat. Lalu tiba tiba dalam sehari, semuanya diambil. Seluruh maksud kisah ini adalah bahwa penderitaan ini bukan karena sebuah dosa khusus dalam diri Ayub. Allah izinkan hal itu terjadi hanya untuk menunjukkan bahwa seorang pria atau wanita akan menyembah dan berbakti kepada Allah bukan hanya untuk apa yang Allah berikan, tetapi karena siapa Allah. Ini adalah sesuatu yang tidak dimengerti iblis. Akan tetapi Allah menunjukkannya di hadapan iblis, para malaikat yang jatuh dan tidak jatuh ke dalam dosa, dan kepada kita melalui Kitab Suci.
Walaupun memang benar pada akhirnya, Allah memulihkan berkat Ayub, seseorang mungkin mengajukan keberatan, “jika itulah arti berkomitmen sungguh sungguh kepada Allah, saya yakin saya tidak mau itu, saya tidak mau menjadi fanatic”.
Atau sekali lagi, kita dapat mempertimbangkan Abraham. Ia adalah sebuah teladan yang hebat dalam hal ujian. Abraham memulai dengan apa yang akan kita anggap sebagai iman permulaan. Allah menampakkan diri kepadanya dalam sebuah penglihatan dan berkata, “Abraham, Aku mau engkau pergi meninggalkan negerimu dan pergi ke sebuah negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu. Aku akan memberikati engkau dan membuat namamu mahsyur. Aku akan membuat keturunanmu sangat banyak, dan engkau akan menjadi sumber berkat bukan saja bagi mereka, kaummu sendiri, tetapi juga bagi semua bangsa di dunia”.
Abraham pun berangkat. Pada mulanya, ia tidak mempunyai iman yang besar, tetapi Allah mulai bekerja di dalam hidupnya untuk mengembangkan imannya lebih lanjut. Ada kalanya terjadi kelaparan, dan Abraham tidak tahu kemana ia harus pergi untuk mendapatkan cukup makanan. Pada lain kesempatan, perampok muncul dari padang gurun dan mengangkut semua bahan makanan, ternak, dan orang orang Sodom, termasuk kemenakan Abraham, Lot. Dengan menanggung resiko besar untuk dirinya sendiri, Abraham mengejar dan menyerang musuh serta membawa pulang segala harta benda dan orang orang itu.
Akhirnya ada sebuah ujian rohani, Abraham, yakin kini sudah menjadi kuat dalam iman, diperintahkan Allah untuk membawa anaknya Ishak dan mengorbankannya di atas sebuah gunung itu bersama putranya. Anda tentunya ingat bagaimana Allah dengan dramatis menghentikan sesaat sebelum Abraham menyembelih putranya. Melalui pengalaman itu Abraham diajari sesuatu tentang apa artinya bagi Allah sendiri untuk memberi anakNya yang tunggal disalib demi keselamatan kita. Abraham mendapat pelajaran tersebut melalui hal hal yang ia derita.
Namun, orang bisa saja berpikir itu sama sekali tidak berharga, atau setidaknya tidak sepadan dengan harga yang harus dibayar untuk mempelajarinya. Orang semacam itu mungkin memberi tanggapan, “jika itu artinya menjadi Kristen, saya tidak yakin mau ikut serta”.
Teladan Ayub dan Abraham memang adalah kasus kasus yang ekstrem. Tidak banyak yang dipanggil untuk mengalami ujian seperti itu. Akan tetapi, sejujurnya, mungkin teladan Ayub dan Abraham tidak mengganggu kita sebanyak hal hal yang dibicarakan Yakobus dalam ayat ayat yang dibahas dalam bagian ini. Ketika ia mulai berbicara tentang “menjadi pelaku Firman”, yang disinggung Yakobus secara spesifik bukanlah perbuatan kepahlawanan yang hebat, melainkan hal hal sederhana seperti mengendalikan perkataan kita, lambat untuk marah, memperdulikan yatim piatu dan janda janda, serta memelihara kebenaran, inilah tema ayat ayatnya tentang kefanatikan.
Lihatlah ayat ayat tersebut, “Hai, saudara saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata kata, dan juga lambat untuk marah, sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah. Sebab itu, buanglah segala sesuatu yang kotor dan kejahatan yang begitu banyak itu dan terimalah dengan lemah lembut Firman yang tertanam di dalam hatimu, yang berkuasa menyelamatkan jiwamu”.
“tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku Firman dan bukan hanya pendengar saja, sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri. Sebab jika seorang hanya mendengar Firman saja dan tidak melakukannya, ia adalah seumpama seorang yang sedang mengamat ngamati mukanya yang sebenarnya di depan cermin. Baru saja ia memandang dirinya, ia sudah pergi atau ia segera lupa bagaimana rupanya. Tetapi barang siapa meneliti hukum yang sempurna, yaitu hukum yang memerdekakan orang, dan ia bertekun di dalamnya, jadi bukan hanya mendengar untuk melupakannya, tetapi sungguh sungguh melakukannya, ia akan berbahagia oleh karena perbuatannya”.
“jikalah ada seseorang menganggap dirinya beribadah, tetapi tidak mengekang lidahnya, ia menipu dirinya sendiri, maka sia sialah ibadahnya. Ibadah yang murnu dan yang tak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita, ialah mengunjungi yatim piatu dan janda janda dalam kesusahan mereka, dan menjaga supaya dirinya sendiri tidak dicemarkan oleh dunia”
(Yak 2:19-27).
Apakah itu disebut fanatisme?, dalam arti Alkitabiah, memang ya!. Masalah kita datang bukan dari keengganan kita untuk menjadi pahlawan, tetapi dari keengganan kita menerapkan Injil dalam rincian kecil melalui kelakuan dan kehidupan pribadi kita secara fanatic.
BEBERAPA CONTOH PRAKTIS
Renungkan hal hal yang disinggung Yakobus:
1. Mengekang Lidah.
Yakobus berbicara lebih banyak tentang perkataan daripada siapapun dalam Kitab Suci, pasti karena ia telah melihat banyak efek buruk dari kemarahan atau perkataan yang tak terkendali. Ia berbicara tentang kata kata yang mengarah pada kemarahan. Ia berkata, “jangan sampai hal itu terjadi, kendalikan itu, lambatlah untuk berkata kata, sebab amarah tidak mengerjakan kebenaran yang dikehendaki Allah”.
Pada akhir bagian pembahasan yang pernah kita bahas, saya menyinggung bahwa Yakobus sering mengacu kepada Khotbah di bukit. Kita mempunyai sebuah contoh. Anda akan ingat bahwa Yesus pun menganggap amarah sebagai hal yang serius, mengatakan bahwa amarah tidak bisa dimaklumi secara enteng dengan berkata, “yah, saya memang sedikit kehilangan control, dan saya mewarisinya. Sifat itu mengalir di dalam keluarga saya”. Yesus tidak memaklumi kemarahan semudah itu. Dia berkata bahwa kemarahan dan perkataan yang timbul darinya sama seperti pembunuhan. Sebagaimana yang Dia lakukan dalam semua pelajaran etikaNya, Dia menudingkan jariNya pada pikiran dan niat hati, menunjukkan apa yang akhirnya mengalir darinya apabila pikiran jahat dan kemarahan tidak dikendalikan.
Dia berkata, “siapa yang berkata kepada saudaranya: raca (LAI: Kafir. Raca adalah sebuah istilah yang menghina) “Siapa yang berkata: jahil!” (kata yang dipakai di sini ialah moros, artinya seorang yang bodoh secara moral, seorang yang bejar dan tercela; itu adalah sebuah fitnah terhadap kelakuannya) kata Yesus, “siapa yang berkata: jahil! Harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala nyala” (Mat 5:22, Lihat ayat 21).
Di sini Yakobus mengatakan bahwa orang yang beribadah kepada Yesus Kristus harus mengekang lidahya.
2. KEBENARAN PRIBADI
Saya tidak tahu apakah Yakobus sedang memikirkan Khotbah di bukit secara khusus di sini, tetapi, seandainya demikian, kemungkinan besar ia sedang memikirkan perkataan Tuhan kita: “karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu di Surga adalah sempurna” (Mat 5:48). Yakobus melukiskan kehidupan yang benar yang Allah kehendaki sebagai membuang” segala sesuatu yang kotor dan kejahatan yang begitu banyak itu” (Yak 1:21).
Kita hidup di zaman yang ditandai dengan kecemaran moral, seperti pada zaman Yakobus. Bahaya pencemaran oleh dunia melalui hiburan, majalah, buku, dan bahkan kehidupan sehari hari, adalah hal yang kita pahami dengan baik. Yakobus meminta kita untuk menjaga diri dari semua itu dan tidak dicemarkan oleh hal hal semacam itu.
Baru baru ini seorang pengusaha berkata kepada saya, “sunggung tak dapat dipercaya hal hal yang berlangsung di dunia finansial”.
Saya bertanya, “apa maksud anda?, apakah maksud anda orang orang yang memanipulasi pembukuan perusahaan?”
“lebih buruk daripada itu. Orang orang itu benar benar tidak jujur, bahkan kepada pelanggan mereka”, jawabnya
Saya bertanya lagi, “maksud anda mereka merampok dari yang kaya supaya dapat juga merampok dari yang miskin?”
“tepat sekali”, katanya
Yakobus menyuruh kita untuk menjaga diri jangan sampai dicemarkan oleh hal hal semacam itu, jika kita adalah pengikut Yesus Kristus.
3. MEMEDULIKAN ORANG ORANG YANG MALANG
Dalam ayat 27, Yakobus mengatakan bahwa ibadah yang “murni dan yang tak bercacat ialah mengunjungi yatim piatu dan janda janda dalam kesusahan mereka dan menjaga supaya dirinya sendiri tidak dicemarkan oleh dunia”.
Mengapa kita berpikir bahwa kita dapat mengabaikan tindakan yang menunjukkan keadilan sosial?, pada awal abad ini, evangelikalisme Amerika [Evangelikalisme: gerakan yang bercirikan Amerika dengan maksud membangkitkan kembali keKristenan yang sedang tidur. Disebut juga Injil- Kamus teologi] ditandai dengan sikap salah ini. Mungkin itu adalah karena para penginjil begitu peduli dengan Injil atau tentang doktrin pembenaran karena kasih karunia oleh iman, sehingga mereka tidak menghendaki apapun yang dapat mengurangi hal itu. Mereka sama sekali tidak mau menekankan pada perbuatan baik. Mungkin itulah alasannya. Saya tidak tahu, mungkin ada alasan lain, yang saya ketahui adalah bahwa selama kurun waktu yang lama para penginjil Amerika sangat kurang dalam bidang ini.
Bukankah mengherankan bahwa, ketika menulis tentang inti ibadah yang murni, Yakobus berfokus bukan pada soal doctrinal, melainkan soal ketekunan pribadi yang benar? Tentu saja ia tidak sedang membahas pengetahuan akan iman. Jika ia mengatakan bahwa inti dari pengetahuan iman Kristiani ialah mengurus janda janda dan yatim piatu, pendapatnya itu salah. Pengetahuan akan iman Kristiani adalah kematian yang mendamaikan dan kebangkitan yang berkemenangan dari Yesus Kristus. Perbuatan memperdulikan yatim piatu, janda janda, dan berbagai perbuatan amal lainnya adalah bukan pengetahuan dari keKristenan, melainkan ekspresi darinya. Seperti saya katakana, pengetahuan akan Injil ialah karya Allah melalui Kristus bagi keselamatan kita.
Namun, saya mendekati persoalan ini dengan cara lain. Perhatikan bahwa Yakobus menulis tentang “ibadah”. Ia mengatakan bahwa ekspresi praktis ibadah seseorang ialah memedulikan orang lain. Ibadah ialah praktik iman seseorang. Kata “ibadah” [Ing: religion] terdiri dari 2 kata latin: re, yang berarti “sekali lagi” dan ligeo, yang berarti “mengikat menjadi satu”.
Kita mendapatkan kata “ligament” darinya. Jadi, ibadah adalah “yang mengikat sesuatu kembali”. Dengan kata lain, ibadah adalah iman yang sedang bekerja, praktik iman. Ibadah adalah iman yang mulai membuat sesuatunya bekerja sama kembali dengan tepat, seperti sebagaimana semestinya.
0 Response to "Arti Fanatik (Kefanatikan) Part 1"
Posting Komentar